MANIFESTASI

Sekumpulan tulisan lepas dari seorang akademisi yang menaruh perhatian yang besar terhadap seni

Seni, Ilmu, dan Teknologi, sekiranya hanya berintegrasi sebagian.

Dewasa ini, manusia hidup dalam dunia yang secara global amatlah unik, amat kompleks, amat majemuk, dan amat berkesinambungan satu sama lain. Dengan segala keterbukaan pemikirannya, berbagai pemikiran mengenai korelasi seni, ilmu dan teknologi pun berkembang. Terjadi sebuah paradoks ketika derasnya arus globalisasi mengantarkan ketiga disiplin ilmu tersebut saling menyokong satu sama lain demi kelangsungan hidup manusia namun di satu sisi terus terjadi pengerucutan dan spesifikasi antara keduanya (seni dan IPTEK) dalam skala yang cukup signifikan. Bentuk nyata dari integrasi ketiganya pun baru muncul ketika ditemukannya istilah seni dekoratif dan seni terapan yang kemudian berkembang menjadi desain dan kriya, yang uniknya tetap dikerucutkan dan dispesialisasikan menjadi sebuah disiplin ilmu baru meskipun terbentuk dari pengkomposisisan yang unik antara seni, ilmu, dan teknologi.

Seni dan ilmu dan teknologi (IPTEK) seringkali dianggap sebagai dua kutub yang amat berbeda, baik dalam lingkup kajiannya, atuapun pada praktiknya. Seni sebagai disiplin keilmuan yang lekat dengan konsep humaniora yang bersifat abstrak kemudian dianggap amat bertolak belakang dengan ilmu dan teknologi yang bersifat realistis dan empiris yang mengedapankan penggunaan rasio dalam praktiknya. Integrasi antara ilmu dan teknologi terjadi dengan sendirinya dan diterima begitu saja dan dianggap sebagai sebuah kelaziman global yang kemudian dikuatkan dengan hadirnya akronim IPTEK sebagai paduan dari keduanya.

Kekhawatiran akan disintegarasi antara seni dan iptek yang semakin jauh pun terjadi, minimnya interaksi antara keduanya pun memicu ketidakpahaman dan ketidakmengenalan satu sama lain yang ditakutkan akan memunculkan kendala dalam memecahakan problematika masyarakat yang kian rumit.

Uniknya, pada awal perkembangannya, seni, ilmu, dan teknologi dianggap sebagai satu kesatuan, hal ini dapat dilacak dari sejarah peradaban manusia yang terdapat dalam beberapa istilah yang dikamuskan. Sebagi contoh, istilah Yunani techne yang berarti kecakapan atau ketearmpilan yang berguna yang selalu dipadankan dengan seni. Makna ini pun berkesinambungan dengan arti seni yang terdapat dalam kamus-kamus besar yang banyak digunakan sebagai acuan oleh masyrakat global. Lebih jauh lagi, cakupan techne sangatlah luas, tidak terbatas pada konsepsi seni yang dipahami sekarang, namun juga mencakup ilmu-ilmu terapan, industri, bangunan, perang, navigasi, obat-obatan, pertanian, dll.  Konsep techne inilah yang kemudian dianggap sebagai cikal bakal dari seni, ilmu, dan teknologi, yang pada perkembangannya, terlebih pada era industrialisasi, dirasa perlu dipisahkan dan dikerucutkan menjadi ilmu-ilmu baru yang terpisan satu sama lainnya pada abad ke 18. Hal ini kemudian menjadi bumerang pada perkembangan keduanya karena tidak ada jembatan penghubung yang nantinya akan menghambat perkembangan keduanya.

Istilah techne lebih dikenal sebagai ars (dari bahasa latin) di benua Eropa, yang kemudian dipisahkan menjadi dua, yakni artes liberals dan artes serviles. Pemisahan didasarkan atas banyaknya kecakapan yang tercakup dalam istilah techne itu sendiri. Artes liberals berarti seni untuk orang-orang merdeka yang memaparkan nilai-niai adiluhung, utama, halus, terpelajar, dan aristokrat yang mencakup tujuh bidang keacakapan/keahlian, yakni tata bahasa, dialektika, retorika, aritmetika, geometri, musik, dan astronomi. Kemudian kembali dikelompokan menjadi trivium (tata bahasam dialektika, dan retorika, yang kemudian menjadi cikal bakal istilah humaniora) dan quadravium (aritmetik, geometri, astronomi, dan musik). Sedangkan artes serviles adalah seni untuk kaum-kaum pelayan, budak, dan rakyat, yang mencakup budaya rendah lainnya yang memerlukan tenaga kasar dan berkonotasi pertukangan. Keahlian ini terdiri dari seni lukis, seni patung, arsitektur, teknologi transportasi, teknologi senjata, dll. Pada perkembangan selanjutnya, Leonardo Da Vinci, seorang seniman lukis dan juga ilmuwan di bidang matematika, fisika, biologi, arsitektur dan persenjataan membuat perubahan pada konsep liberal art, beliau mengemukakan bahwa seni lukis tidak hanya mengandlakan keterampilan menguas dan pengetahuan akan cat saja, pun memerlukan keterampilan yang tidak kalah sulitnya dibanding fisika dan biologi, terutama di bidang perspektif dan anatomi, seni lukis pun mampu mencapai tujuan moral teretentu layaknya puisi melalui sikap dan ekspresi wajah yang dituangkan dalam lukisan, kemudian seni lukis pun naik menjadi bagian dari seni tinggi. Perkembangan ini pun kemudian diikuti oleh seni patung yang diperjuangkan oleh Michelangelo, yang menekankan bahwa mematung tidak hanya memerlukan kekuatan tangan laiknya tukang, namun juga memerlukan perhitungan yang presisi dan sistematis, pun mampu menyampaikan sesuatu yang bersifat metafor dan puitif. Liberal arts pun kemudian mengalami spesifikasi kembali, yakni menjadikan keindahan sebagai substansi utama yang diperjuangkan, menyisihan nilai-nilai pakai yang terdapat. Karena dirasa adanya pemurnian, istilah liberal arts yang dirasa kurang mewakili makna yang terkandung kemudian digantikan dengan fine arts, yang berkonotasi seni yang murni untuk keindahan, berfokus pada seni lukis dan seni patung yang menggeser seni musik dan kesusastraan pada daftar cakupannya, konsepsi ini kemudian dikenal dengan seni rupa. Meskipun banyak terjadi pergeseran pada konsep awal liberal arts yang amat mendasar, konsep liberal arts masih dipegang hingga saat ini dalam disiplin ilmu humaniora.

Pemisahan dan perkembangan diatas pun turut terjadi pada ilmu dan teknologi, perkembangan ilmu dan teknologi kebanyakan dipengaruhi oleh aspek pendidikan dan penelitian, merebakanya institusi teknik di Eropa kala itu menghadirkan sebuah profesi baru yang disebut scientist atau ilmuwan yang berpegang pada konsep bahwa ilmu pengetahuan dapat memberikan banyak manfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Teknologi kemudian berjalan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, hal ini diakibatkan ilmu pengetahuan memerlukan teknologi dalam pengaplikasiannya secara langsung dalam kehiduan manusia. Perkembangan teknologi di Eropa ditandai dengan munculnya banyak politeknik yang terjadi setelah merabaknya institusi yang memfokuskan diri pada ilmu pengetahuan.

Interaksi antara seni dan industri pada era industrialisasi menyebabkan benturan yang cukup kontroversial, disatu sisi seni semakin mengukuhkan dirinya dan uniknya benturan ini melahirkan genre seni yang baru, yakni pop art, seni popular, seni massa. Ditemukannya mesin cetak mengantarkan seni ke dalam gerbang indusrialisasi, yakni produksi massa pada karya seni dan dibuatnya standardisaasi karya seni. Hal ini jelas membuat seniman yang masih berpegang teguh pada konsepsi seni untuk seni yang lekat dengan eksklusifitasnya tidak menyetujui adanya industrialisaasi seni, ditandai dengan dicetuskannya otonomi seni yang mencakup fine arts sebagai seni tinggi, sedangkan seni untuk industri diangap seni rendah karena hilangnya jiwa seni pada segmen ini juga telah dicemari oleh paham kapitalisme seperti seni musik pop, novel, film, dan seni pertunjukan pop.

Dari benturan tersebut pun lahirlah istilah baru yang disebut seni tengah (middle art), yakni desain dan kria, merupakan perkembangan dari industrial art, seni dekoratif, atau seni terapan. Desain lahir dari kebutuhan estetis yang disadari pihak industri pada perancangan produk industrinya terhadap seni, hal ini tidak menuai banyak kontroversi karena berbeda dengan konsep meng-industriliasi-kan seni atau menjadikan seni sebagai sebuah komoditi yang layak dijual, mengenyampingkan tujuan awal seni itu sendiri. Mekipun memerlukan estetika, industri tetap saja mengutamakan nilai fungsi dari sebuah produk sehingga seringkali terjadi pereduksian niai estetis pada suatu produk karena dinilai mengurangi nilai praktik atau terbentur biaya produksi.

Memasuki abad ke 19 yang kerap disebut sebagai era saintisme, seni mulai mengadopsi dan mengambil manfaat dari berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, diawali oleh berkembangya Impresionisme yang setidaknya “meminjam” konsepsi seorang Maxwell sebagai ilmuwan mengenai teorinya mengenai cahaya, kemudian Kubisme yang dipelopori Picasso yang cukup terinfluence oleh teori relativitas Einstein, penganut aliran Futurisme yang merupakan bentuk respon seniman terhadap mesin dan teknologi, dan surrealisme, atau super-realisme yang bersumber dari teori psiko-analisis Freud.

Hal tersebut pun terjadi di bidang ilmu dan pengetahuan, setidaknya ketidakrasionalan pemikiran seniman yang imajiner dan kreatif sedikit banyak menginspirasi para ilmuwan dalam meneliti sesuatu dan menteorikan-nya, membuktikan ‘kegilaan’ yang dikemukaan para seniman mengenai pemikirannya atas sesuatu. Terbukti bahwa proses kreasi seniman dalam berkarya sering menjadi model proses kreatif para ilmuwan untuk menciptakan penemuan-penemuan baru.

Perkembangan teknologi yang kian pesat di abad 20 ini menimbulkan banyak dampak yang menarik, selain memberikan banyak kemudahan dan kepraktisan, revolusi iptek yang hebat ini malah menimbulkan tekanan yang cukup signifikan bagi manusia. Berkembangnya banyak alat yang mampu membantu manusia dalam beraktifitas malah mengasingkan manusia itu senidiri dari lingkungannya. Seperti pernyataa seorang pemikir yang menyatakan: ditengah mesin yang menambah daya organisnya, manusia semakin teralienasi.

Globalisasi dan revolusi iptek tidak dapat dipungkiri amat mengasingkan manusia dari lingkungannya, dan disini, seni menujukan perannya sebagai penyeimbang yang menyerukan isu humanisasi.  Seni berperan penting dalam merespon laju aktivitas manusia modern yang semakin ter-mesin-nisasi, isu humanis ini kerap kali dilontarkan dengan cukup konfrontatif, satir menyindir, dan radikal, menentang konsep kapitalisme yang semakin membendakan manusia. Dan pada akirnya, seni berperan sebagai sesutau yang mampu memanusiakan manusia di tengah keterbuaaian manusia akan kapitalisme yang membuat manusia lupa akan alam, lingkungan, Tuhan, bahkan diri dan sifatnuya sendiri sebagai manusia yang hakiki.

Fenomena kontemporer yang dialami masyarakat industri adalah pecahanya fenomena seni yang dianut sambil memabawa unsur utamanya, yakni seni modern yang tetap berpeganag teguh pada nilai estetis dari seni itu sendiri, kemudian seni industri yang menganut pemahaman untuk memcahkan masalah memerlukan komposisi nilai estetik yang direduksi dan dipadukan dengan nilai fungsi dan praktis , dan seni massa yang megabaikan fungsi seni itu sendiri dan menjadikan seni sebugai sebuah komoditi yang patutu dijual demi meraup untung yang sebanyak-banyaknya. Ketiganya telah terpisah jurang yang cukup jauh dan menyebar luas ke seluruh penjuru bumi.

Kesimpulannya, dengan segala kemajemukan yang dimilki masyarakat industri, hadirlah desain sebagai bentuk nyata integrasi dari seni, ilmu, dan teknologi, merupakan bentuk interrelasi yang cukup mewakili kedua kutub yang berlawanan tersebut. Desain dinilai sebagai sesuatu yang mampu mewakili nilai humanistis yang tertuang dalam suatu produk industri namun juga mewakili kepentingan pihak industri yang berbekal penguasaanilmu dan teknologi yang baik yang menjadikannya komoditi yang kembali dipengaruhi pasar dan massa.

Ja’u TImu: Serangkaian pameran dan dialog ketimuran. HIstobiografi A. D. Pirous dalam seni grafis.

Tidak lengkap rasanya jika tidak mencantumkan nama Abdoel Djalil Pirous dalam konstruksi sejarah perkembangan seni rupa Indonesia dewasa ini. Hal ini boleh jadi disebabkan oleh cukup kuatnya signifikasi beliau dalam medan sosial Indonesia, tidak berlebihan jika beliau disebut sebgai maestro dan founding father dari seni lukis kaligrafi Indonesia.

Belakangan ini, telah digelar serangkaian pameran yang disertai dengan seminar, artist talk, dan peluncuran buku. Pengayaan serangkaian acara tersebut berkenaan dengan perayaan ulang tahunnya yang ke-80. Tidak tanggung-tanggung, dalam satu bulan beliau berkesempatan untuk dua kali berpameran tunggal. Pertama, pameran tunggal karya-karya lukisnya yang difasilitasi oleh Selasar Soenaryo Art Space dan kedua, pameran karya-karya cetak/grafis Pirous di Galeri Soemardja, FSRD ITB. Di sela-sela berlangsungnya pameran tersebut diadakan seminar ‘Manfaat Seni untuk Indonesia’ dan peluncuran buku. Semua terangkum dan terlaksana dengan baik dan diharapkan mampu menginspirasi seniman, praktisi, akademisi, kurator, serta pihak-pihak lainnya yang kemudian terangkum dalam medan sosial seni rupa Indonesia.

Rangkaian acara ini diawali dengan pameran Ja’u Timu (mengarahlah ke Timur) yang diselenggarakan di Selasar Soenaryo Art Space pada tanggal 11 Maret dan berakhir pada tang8 April 2012, menampilkan tak kurang dari 177 rangkaian lukisan yang Pirous kerjakan sejak tahun 1960 hingga 2012. Sebuah jumlah karya yang amat banyak untuk sebuah pameran tunggal. Selain serangkaian lukisan, pameran ini pun menampilkan essai-essai yang Pirous kerjakan semasa hidupnya hingga sekarang, banyak berkutat mengenai respon beliau akan perjalanan seni rupa modern Indonesia dan menyematkan kecenderungan spiritual di dalam tulisan-tulisannya.

Tajuk pameran Ja’u TImu, dipilihnya karena unsur memento yang terkandung di dalam frasa tersebut. Seperti yang ditulis pada katalog pameran, Pirous pernah dinasehati ayahnya pada usia ke-14, taun 1946, dengan kalimat “Djalil, Ja’u Timu! (Djalil, Pergilah ke TImur)’ Hal ini kemudian dikembangkan dengan begitu apik dalam merespon kecenderungan karya Pirous yang amat beragam, dengan pengantar sebuah kuratorial oleh Aminudin T. H. Siregar. Gambaran awal yang kemudian terbentuk di beank apresiator dalam mencerna potongan kalimat ini mungkin adalah bahwa manusia TImur, seyogyanya harus merenungkan kembali ketimurannya dalam penggalan jaman dengan budaya yang saling berkaitan dan tumpang tindih satu sama lain, untuk mampu menentukan jati diri dan identitas manusia Timur seutuhnya.

A. D. Pirous, dengan sangat konsisten bergelut dengan seni kaligrafi yang berasal dari Saudi Arabia, sebuah tempat yang lekat dengna budaya Islam dan kiblat bagi umat muslim di seluruh dunia. Warisan budaya kaligrafi yang begitu kental melekat dalam diri Pirous tentunya dipengaruhi oleh konstruksi sejarah yang menyatakan bahwa pada masanya, para saudagar dan pedaganag Arab sering mennyinggahi kampung halaman Pirous, Aceh, yang juga dijuluki sebagai Serambi Mekkah. Kedekatan Pirous dalam kaligrafi ini pun terus menyertai proses kreatif beliau hingga sekarang, dari perantauannya ke Bandung pada usia ke 23 hingga saat ini. Konsistensi beliau dalam menyertakan substansi kaligrafi ini pun ternyata menempatkan beliau dalam garis depan ‘pendekar’ seni rupa modern Indonesia. Ciri khas dari lukisan kaligrafi Pirous adalah unsur profan yang tersematkan dalam karyanya. Dalam prespektif umum Indonesia, huruf-huruf Arab selalu bekonotasi religius dan Islamiah, yang kemudian menjadikannya terlampau sakral untuk diemplemantasikan dalam kehiduopan keseharian. Hal ini yang ingin disangkal Pirous bahwa seyogyanya sakralisasi yang kepalang tinggi tersebut justru menjauhkan umat dari pedoman hidupnya, AL-Quran. Namun meskipun begitu beliau tetap menjaga tata krama dalam mengolah potongan-potongan ayat Al-Quran meski dalam tendensi  respon akan ketimpangan sosial.

Pirous berujar, “Saya tidak hendak berdakwah melalu lukisan, Lukisan bagi saya adalah medium yang saya gunakan untuk berkomunikasi dengan Tuhan”. Hal ini disinyalir dapat menjelaskan pola kerja beliau yang amat rapi dan teratur, ketika melukis dipahaminya sebagai salah satu bentuk ibadah, selain fungsi lainnya yang juga merespon problematika sosial. Meskipun tidak ada tendensi dakwah, bukan berarti bahwa melukis tidak memenuhi kebutuhan spiritualnya. Perlu dipahami bahwa seyogyanya spiritualitas (kerohanian) dan religiusitas (keagamaan) adalah substansi yang berbeda dan dapat dipisahkan meskipun religiusitas adalah salah satu irisan dalam spiritualitas yang terlanjur dipahami masyarakat sebagai hal yang sama. Pemisahan dan pemilahan ini akan cukup memabntu apresiator dalam memahami karya-karyanya.

Lukisan kaligrafi Pirous seyogyanya tidak sekonvesional kaligrafi pada umumnya. Beliau mencoba untuk keluar dari tradisi khattiyah kaligrafi Islam seperti tsukutsi, kuthi, difani, naskhi, farisi, dan sebagainya. Pembebasan ini beliau lakukan untuk memenuhi kebutuhannya dalam menelaah dan mampu menjawab problematika sosial masyarakat, tidak lagi semata-mata menyajikan sesuatu yang serba sakral. Perkembangan khat yang Pirous lakukan pun mengganjarnya dengan istialh mazhab Pirousi / mazhab Djalil untuk menunjukkan kecenderungan estetika kaligrafi beliau. Seorang ahli kaligrafi Islam Indonesia, SIrodjuddin A. R. mengungkapan bahwa masih terdapat akra dari khat Pirousi, yakni mengacu pada khat Yaquti, khat Rayhani, Abbasi, Isma’ili, Gazlani, dan Nasri. Kutipan-kutipan ayat Al-Quran yang beliau tampilkan dalam karyanya tentu tidak mendahului maksud perwahyuan sebelumnya, pengutipan ini beliau lakukan semata untuk merespon pengalaman priibadinya atas peristiwa-peristiwa penting tertentu dan dalam memahami gejolak kehidupan sosial yang dialaminya,

Kegelisahan mengenai jati diri ketimuran yang dialami Pirous merupakan isu yang sering beliau diskusikan. Hal ini boleh jadi karena pengaruh konteks zaman ketika beliau mulai aktif berkarya dan belajar di Bandung sebagai seniman pada tahun 1950-an, yang menyerukan identitas asli bangsa Indonesia mulai semerbak dalam atmosfer dunia intelekteual dan cendikia Indonesia. Pirous menyerap dan mempelajari estetika modern pada studinya di Bandung melalui guru-guru Belandanya, terutama Ries Mulder. Ajaran Ries Mulder mengenai estetika modern yang cenderung formalis terkesan membutakan mata seniman Indonesia atas identitas ketimurannya sendiri, diperkuat dengan impresi bahwa mengerti tradisi seni lukis modern seolah memberikan penghargaan yanga amat tinggi di kalangan cendikia, sebagia ahli waris dunia yang sah untuk melukis, sebagai salah satu bagian dari laju roda kehidupan modern yang universal. Pirous sendiri berujar bahwa pada masa tersebut  beliau belum cukup mempertimbangkan identitas dirinya sebagai mabusia TImur, namun lebih disibukkan dengan mempelajari tata cara melukis dalam bingkai modernisme yang amat konvensional. Pucnak dari keteganagn identitas ini beliau alami semasa persinggahannya di Amerika pada awal 1970-an. Pada masa tersebut, beliau mulai memprtanyakan validitas atas unsur-unsur formalism dan niliai-nilai seni modern yang direaspi sebelumnya yang kala itu dianggap universal. Pirous terpukul dengan absennya nilai karya-karya pelukis Indonesia di galeri dan museum-museum di New York. Hantaman ini kemudian memberinya peajaran akan arti penting identitas diri yang hakiki itu sendiri,

Melalui serangkaian pelajatan dan pembelajarannya, akhirnya pun dia mampu mengatkan bahwa, “Barangkali orang perlu ke Barat dahulu untuk memahami Timur, atau mungkin juga orang bisa terlebih dahulu mengahyati hakikat Timur dan menemukan Barat di dalamnya”. Petikan ini seolah menyadarkan kita akan dominasi nilai-nilai Barat yang seringkali mensubordinasikan ke-Timuran sebagai unsur mendasar manusia Indonesia. Dalam hal ini pun nampaknya perlu dipahami bahwa perlunya mengembangkan ilmu pengetahuan berbasis ulayat (indigenous) yang berpusat di Asia untuk memahami realitas yang ada di masyarakat TImur (Asia) itu sendiri, tidak melulu berkiblat kepada Barat yang lebih dulu maju. Terakhir, Ja’u TImu menurut Pirous adalah “visi, etos, spirit, kepada siapa saja untuk berani berkata “ya” kepada hidup; untuk mengarah ke penjuru kehidupan yang lebih baik.

Parparan diatas seyogyanya adalah benang merah yang mencakup latar belakang, konsep karya, kesadaran media, dari kecenderungan karya Pirous selama ini. Dan dalam pameran lanjutannya yang diselenggarakan hampir 2 minggu setelahnya, yakni tanggal 20 Maret 2012 hingga 8 April 2012, galeri Soemardja berkesmpatan untuk memamerkan karya-karya grafis yang dibuat oleh Pirous. Pameran ini diberi judul “Meninggi, Mendalam, dan Menyaring” sebagai jargon yang amat dekat dengan para penggrafis, mengingat teknik teknik grafis dibedakan dengan isitilah istilah ini, antar lain cetak tinggi, cetak dalam, cetak datar, dan cetak saring. Pameran ini lebih menekankan pada eksplorasi teknis yang Pirous kerjakan, mengingat aspek konten karya pernah diungkap pada pameran sebelumnya di Selasar Sunaryo Art Space. Tajuk ’40 Tahun Grafis-grafis A.D. Pirous’ mengantarkan apresiator pada sebuah bingkai retrospketif rangkaian karya beliau yang dikerjakan selama 40 tahun dair tahun 1956-1996. Dalam kurasinya, Aminudin ‘Ucok’ Siregar lebih banyak membahas mengenai aspek teknis grafis itu sendiri, terlebih seni grafis memang amat tergantung pada aspek teknis karya, kurasi pun lebih fokus pada perkembengan dan keragaman penggunaan media cetak yang Pirous gunakan.

Mengutip perkataan A.D Pirous, “Seni grafis yang dicetak dengan prosedur yang benar denagn sendirinya membutuhkan cara melihat yang benar. Dengan begitu, kekuatan dan keistimewaan seni grafis yang sesungguhnya akan muncul”, terkesan menekankan aspek teknis dan bagaimana mengapresiasi kaya grafis itu sendiri. Pirous menyadari bahwa baginya, seni grafis bukanlah kecenderungan media dengan skala prioritas kedua yang beliau gunakan untuk memenuhi kebutuhan berkeseniannya. Namun lebih beliau pahami sebagai medium lain selain seni lukis yang menawarkan sebuah kepuasaan tersendiri, dan bentuk eksplorasi lain. Proses berkarya grafis bahkan sering mengilhami proyek-proyek lukisannya. Kedua medium ini saling berineraksi satu sama lain, dan juga terus mempengaruhi hingga mencapai sebuah kematangan eksplorasi guna melahirkan sebuah karya seni yang penuh.

Kecenderungan karya pada pameran ini kiranya dapat digolongkan kedalam tiga kelompok, yakni karya cetak tinggi, cetak dalam, dan cetak saring. Karya-karya cetak tinggi Pirous adalah karya-karya yang beliau selesaikan semasa studinya di ITB, pada jenis media ini, Pirous lebih sering menampilkan objek-objek profan keseharian seperti landscape dan kejadian-kejadian yang lumrah kita temui sehari-hari. Terlihat bahwa pada masa studi ini, beliau masih bereksplorasi dengan kaidah-kaidah teknis dan visual karya saja, belum kepada substansi spiritual yang menjadi ciri khasnya. Kedua, serangkaian karya etsa dengan teknik color viscosity pun dipamerkan dalam pameran ini, color viscosity adalah sebuah teknik perkembangan dari etsa yang tergolong pada intaglio, namun dengan memanfaatkan kekenyalan dan perbedaan kekentalan tinta, teknik ini memungkinkan pengaplikasian banyak warna pada sebuah plat / matriks logam etsa. Namun sayangya, keterbatasn media seolah menghambat perkembangan teknik ini di kalangan penggiat grafis Indonesia. Kecenderungna karya etsa Pirous dengan teknik ini sudah memunculkan citraan-citraan spiritual yang beliau kembangajan seraya dengan pengerjaan karya-karya lukisnya. Terakhir, adalah karya-karya cetak saringnya, cetak saring sebagai media grafis yang dalam bidang konvensional ditemukan paling akhir merupakan media yang menurut PIrous dapat dikembangkan dengan baik, karena kemudahannya untuk mendapatkan alat dan media untuk mendukung proses kreasi karya cetak saring. Pada karya cetak sablonnya, Pirous seolah menampilkan visual-visual yang cenderung eklektis dengan menghadirkan banyak penggalan-penggalan budaya. Seolah-olah ikut larut dalam laju perkebanagn budaya popular di dunia kala itu.

Dalam sebuah diskusi mengenai karya-karya grafisnya, Pirous amat menekankan bahwa etos kerja dan semangat adalah modal yang amat penting dalam bingkai seni grafis. Terlebih karya grafis memerlukan keteltitan dan kejelian lebih dalam prosesnya, baik dalam persisapan plat atau matriks hingga ke proses pencetakan. Proses penciptaan karya grafis mempertemukan banyak variabel seperti alat dan bahan yang amat mempengaruhi satu sama lain. Sehingga amat disayangkan jika hadir sebuah cacat dalam serangkaian prosesnya. Diskusi ini kemudian cukup menyemangati para calon seniman muda grafis yang terlanjur dibuai oleh nilai praktis dari lahirnya teknologi teknologi yang mempermudah kehidupan manusia.

 

 

 

असतो मा सद्गमय

असतो मा सद्गमय

तमसो मा ज्योतिर्गमय

मृत्योर्मा अमृतं गमय

 

Lead us from unreal to reality

Lead us from ignorance to the truth

Lead us from the fear of the death to knowledge of immortality

Jurnal Kampung Festival #9: Pada Harinya!!!

Dua puluh, dua puluh satu, dan dua puluh dua september dua ribu dua belas. Adalah tiga hari yang paling merepotkan, paling menyebalkan, sekaligus paling menyenangkan. Saya sebisa mungkin menikmati acara, karena seperti siapapun tahu, seorang panitia tidak akan pernah menikmati acara yang dibuatnya. Saya tidak mau terlalu dipusingkan dengan tugas yang diberikan pada saya, tapi bukan berarti saya mengabaikan tugas saya, pun, itu yang dilakukan kami. Berutung acara hanya sedikit terganggu oleh hujan, dan sisanya berlangsung dengan amat lancar.

Perencanaan yang kami lakukan berjalan dengan cukup baik dan minim interupsi. Beruntung zoning blocking dan keamanan dibantu warga sepenuhnya dalam proses eksekusi, semantara kami hanya memberikan gambaran awal, disamping akomodasi bagi panitia yang juga disediakan dengan baik sehingga kami mampu mengurusi jalannya acara dengan tanpa segan, merasa kawasan tersebut adalah kawasan yang tidak asing bagi kami.

Kamis, dua puluh september adalah hari pertama yang diisi oleh workshop melukis dari Hay Man Movement dan hari pertama pengerjaaan mural lapangan oleh TPB FSRD 2012, juga dibantu oleh kawan-kawan senior KMSR yang dengan senang hati mengurusi adik-adiknya. Hari mendung dan agak hujan tidak menyurutkan semangat yang telah kami jaga, workshop melukis dengan cukup hangat mengajak warga terutama anak-anak kecil susia SD untuk mengeluarkan ekspresi dan mencoba mengaktualisasikan dirinya. Pengerjaan mural lapangan pun terlakasana dengan cukup lancar, hanya sedikiti diganggu oleh udara lembab sehabis hujan, tapi aroma hujan di kampung seperti membawa romantisme alam yang sudah lam tidak kami rasakan. Malam harinya diisi oleh workshop ‘Motret Kampung’ yang difasilitasi oleh AIR FOTONETWORK dengan pembicara Kang Galih Sedayu yang juga menjabat selaku sekretasis program BCCF dan Kang Dudi dari Pikiran Rakyat. Agak disayangkan warga agak malu-malu turun ke lapangan dan cenderung memilih menonton workshop dari pinggiran lapang, dan peserta utama malah menjadi mahasiswa tingkat pertama FSRD, tapi bagi saya hal ini cukup tepat sasaran karena banyak sekali respon yang diberikan mahasiswa berupa pertanyaan kepada para ahli fotografi, saya tahu mereka memiliki minat yang besar pada fotografi, karena mereka calon manusia yang akan peka terhadap visual dan beberapa moment bernilai yang kali ini akan mereka rekam dalam pita sensor kamera.

Jum’at, dua puluh satu Sepetmber, hari ini acara masih diisi oleh serangkaian kegiatan yang mungkin hampir mirip, workshop melukis layang-layang oleh Hay Man Movement, pengerjaan Mural Lapangan Tengah, dan terakhir screening film oleh komunitas Layar Kita yang menampilkan sebuah flm (yang kembali saya lupa judulnya) namun tetap sesuai dengan kondisi warga sekitar, menceritakan bagaiaman sebuah kawasan pemukiman padat atau kampung yang masih bisa menggeliat.

Terakhir, Sabtu, 22 September adalah hari tersibuk selama keberlangsungan acara karena memang rangkaian acara untuk hari ini adalah yang paling padat dan sarat konten. Diisi oleh penampilan dari warga dan beberapa musisi yang konten musiknya kami kurasi agar memenuhi tujuan awal, yakni memperkenalkan warga pada singgungan kebudyaan kontemporer. Agak sayang memang ketika kepengurusan penampilan warga agak berjalan kurang kondusif karena beberapa Liasion Officer kurang bisa bekerja dengan cepat dan kami selalu harus mengingatkan, ada rasa sedikit segan ketika kami harus sedikit mengurusi jalannya acara warga. Namun, terbatasnya waktu harus selalu harus kami pertimbangkan. Acara penampilan warga kemudian ditutup oleh kesenian gamelan khas Sunda, Jawa Barat, dari warga sendiri yang berakhir tepat lima belas menit sebelum adzan Maghrib. Setelah break Maghrib, acara mulai dilanjutkan pada pertunjukan seni musik kontemporer yang pertama kali dibuka oleh Trah Project, moment ini menjadi menarik karena konsep yang Trah tawarkan adalah merajah tempat, mendoakan kampung agar senantiasa dilimpahi berkah oleh yang Maha Kuasa yang disimbolkan dengan adanya hujan, dan menarik, ketika pawang hujan (percaya tidak percaya kami selaku mahasiswa kreatif yang amat rasional dan strategis masih memerlukan nuanasa magis dan supranatural demi keberlangsungan acara)  tidak mampu menahan limpahan berkah berupa hujan yang difasilitasi oleh Trah, beruntung, ketika Trah selesai merajah kawasan, hujan rintik-rintik mulai bisa dikendalikan, sangat menarik, ketika mantra mereka berdua beradu,  dan saya disana hanya bisa tercengang. Acara pun dilanjutkan pada beberapa performer lainnya dengan nunasa musik kontemporernya yang beragam. Selalin acara musik, acara ini juga sempat dibantu oleh Pak Tisna Sanjaya (dosen saya) dengan performance art-nya yang meninggalkan artefak sebuah karya seni diatas kanvas dan kemudian disimpan warga. Perforamance yang dilakukan Pak Tisna merespon penampilan musik panggung, sehingga integritas terasa diantara keduanya, lebur dalam sebuah kesatuan. Acara kemudian ditutup dengan Video Mapping dari INTERAKTA: Himpunanan Mahasiswa Studio Seni Intermedia FSRD ITB menampilkan serangkaia video animasi yang diproyeksikan kepada fasad rumah warga yang juga meresponya. Konten mapping sudah kami perhitungkan sebelumnya sehingga dapat menyampaikan maksud kami untuk memotivasi warga untuk kembali memiliki dan mengembangkan kampungnya. Cukup menarik ketika warga terheran-heran bahwa fasad ruamhnya bisa menjadi ‘buricak burinong’ seperti itu, canggih, dan sangat keren. Bersyukur, maksud kami untuk memperkenalkan karya seni yang beriringan dengan progresi teknologi mampu kami perkenalkan kepada warga.

Video Mapping adalah pertanda bahwa acara selesai. Warga beserta pengunjung puas dan panitia lemas.

HATUR NUHUUUUNNNNNNN!!!!!!!!!

Jurnal Kampung Festival #8: Ketika Dewa Pragmatika Bekata Tidak

Selalu dan selalu, sebuah ide yang sifatnya abstrak akan bersinggungan dengan hal-hal teknis pragmatis praktis yang seringkali menyulitkan. Disini, saya merasa bahwa teknis selalu menjadi sebuah substansi yang harus saya hadapi, dan seringkali menjadi bulan-bulanan. Terlebih karena kami berlatarbelakangakan akademi yang seypgyanya dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan abstrak yang sifatnya konsptual, aspek teknis dan lapangan selalu saja membuat kami harus mengernyitkan dahi karena mendatangkan beberpa hambatan yang mau tidak mau kami hadapi. Terlebih saya, selaku manusia dengan kemampuan abstrak yang cukup koheren dan selalu saya gunakan, teknis akan selalu menjadi masalah. Beruntung, ada beberapa dari kami yag memang memiliki kelebihan dalam penanganan teknis sehingga semua hambatan teknis dalam pengerjaan acara bisa disiasati. Saya pribadi dulu pernah cukup aktif berada di lapangan sehingga tidak terlalu terkejut ketika ada masalah-masalah diluar dugaan yang sebelumnya belum terumuskan dalam progresi pergerakan kami, tapi tetap saja, karakter abstrak seseorang akan selalu dikesalkan oleh masalah-masalah teknis.

Contoh kasus, selalu dibutuhkan untuk membuat pernyataan abstrak diatas menjadi lebih kongkrit dalam prosses deskripsinya. Pertama yang pernah saya singgung sebelumnya, rapuhnya atap warga yang kemudian menimbulkan kekahwatiran dalam benak warga kemudian agak menyulitkan proses birokrasi kami kepada warga. Wajar ketika warga pemukiman padat amat khawatir dengan atapnya dan selalu memiliki tendensi negatif dalam proses pengerjaannya. Riset lapangan kami akui agak kami abaikan, tidak seperti pengembangan konten acara yang selalu menjadi konsentrasi kami. Wwajar ketika warga meminta penjelasan teknis yang amat jelas sehingga mereka mampu memprediksi kerusakan-kerusakan yang terjadi. Beberapa kali kami yaknikan bahwa kami bekerja sama dengan pihak professional dalam proses pengecatan, namun label mahasiswa dengan konotasi kurang pengalaman seringkali menjadi bumerang bagi kami, kami lupa bahwa waga agak sensitif dengan kerusakan, apalagi berkenaan dengan properti yang mereka miliki. Beruntung, ada beberapa pihak yang sangat mengerti pengecatan atap mau membantu kami, sehingga kami bisa menjelaskan pada warga bagaimana planning pengecatan atap dari aspek pragmatis dengan cukup meyakinkan, didampingi dengan beberapa kata berlabel hukum yang menyatakan bahwa kerusakan akan ditanggung panitia. Tapi tak apa, hal ini kemudian menyadarkan kami bahwa masyarakat luas akan selalu seperti itu. 

Kasus kedua, adalah pembangunan podium bambu, alih-alih kami menyelesaikan pengerjaan bambu, konstruksi beton yang kami rencanakan akan selesai pada seminggu setelah acara ternyata tidak bisa terlaksana sesuai jadwal. Hal ini dipenagruhi oleh beberapa aspek teknis seperti salah pengukuran tulang-tulang besi cor, dan juga spare waktu yang harus disediakan sehingga bungkus (maaf, saya lupa padanan kata yang tepat) bisa beton bisa dibuka dan kosntruksi beton dapat menopang bebannya sendiri. Bagai disambar petir, teknisi konstruksi saung bambu berujar bahwa proses pematangan beton masih memerlukan waktu sekitar beberapa minggu setelah acara, batu mereka berani mengerjakan kosntruksi bambu setelahnya. Mereka, sang teknisi, agak kahwatir juka umur pengecoran beton yang masih teramat muda tidak mampu menopang beratnya, konsekuensinya, konstruksi harus diulang dari awal, dan tentu saja, dengan biaya yang tidak sedikit, minimal satu motor baru barangkali. Permasalahan zoning blocking dan layout panggung pun harus kami rubah 2 hari sebelum acara, sangat merepotkan, tapi kami berusaha tenang dalam menyikapi dan mencari solusi. Alhasil, panggung dadakan yang kami rencanakan dalam waktu yang sempit mampu menguasi ruang lapangan tengah warga dengan cukup baik, meskipun tidak megah dan agak tidak sesuai dengan konsep acara pada awal. Tapi, setidaknya kami mengerti dan akan lebih berhati-hati kedepannya.

Dua contoh diatas kemudian menyadarkan kami, terutama saya, bahwa riset lapangan selalu dan selalu harus kami pertimbangkan dengan matang, bukan sesuatu yang bisa dikesampingkan. Memang, teknis akan selalu terdengar sepele, namun tetap saja sesuatu yang signifkan dan harus selalu dipertimbangkan.

Jurnal Kampung Festival #7: Tentang Kami

Tulisan ini berangkat dari sebuah permintaan dari koordinator acara ini, seorang mahasiswa tingkat akhir, mengajak teman-temannya yang masih menjabat mahasiswa tingkat akhir, belum lulus, dan masih menyempatkan diri untuk mewujudkan sebuah gerakan kreatif dengan kampung sebagai kajian utamanya.

Keikutsertaan saya selaku panitia pun berawal dari sebuah pertemuan sederhan. Kala itu dan seperti biasa, kami sedang bercengkrama dengan sebuah permainan virtual yang entah digandrungi sejuta umat, PES. Tercetus sebuah ajakan dari beliau yang menurutnya mendapat ajakan dari pihak BCCF, karena menarik, proses acara ini pun kemudian saya agendakan dalam jadwal saya yang puji Tuhan belum terlalu padat. Proses pembentukan tim eksekutor acara pun berlangsung dengan cepat, cukup banyak pihak yang ingin ambil bagian dalam acara ini.

Kami, mengatasnamakan diri kami delegasi KMSR (meskipun saya pribadi cenderung menyebut diri saya bergerak sebagai individu), mengajak teman kami dari lingkaran yang sama tapi dari komunitas yang berbeda, AWANAMA, sebuah komunitas yang bergerak di bidang seni yang bersinggungan dengan masyarakat. Konsentrasi pengurusan acara pun kami bagi berdasarkan ketertarikan dan kebutuhan satu sama lain, KMSR beserta saya memilih untuk fokus di wilayah kepenguruasn acara Desa Taman Hewan Festival dan AWANAMA untuk kepengurusan Mural Atap Kebon Kembang. Mekipun pembagian acara telah dibuat, kami tetap berupaya untuk tetap berkordinasi satu sama lain, memberi kritik, saran, dan masukan Karena minimnya SDM yang kompeten, kami seringkali berbagi aset SDM yang memiliki kompetensi di bidang tertentu, agak merepotkan memang, namun kami tahu keterbatasan dana seringkali membuat kami enggan untuk terlalu mengikutsertakan banyak pihak, beberapa kali overlapping terlihat di satu dan lain titik, namun hal tersebut tidak selalu mengganggu, seringkali putusan-putusan mendadak membuat kami harus mengambil langkah strategis yang solutif, meskipun agak segan untuk sampai mengambil otoritas jabatan tertentu, tetapi kami bersyukur bahwa semua proses kepengurusan berlangsung dengan cukup baik dan progressif.

Kerjasama kami dengan BCCF pun dirasa cukup kondusif, kami selalu berupaya untuk saling menyamakan suhu kerja dengan diadakannya rapat kordinasi setiap minggu. Beruntung BCCF banyak mengurusi hal yang sifatnya diluar kompetensi kami selaku mahasiswa, sebut saja birokrasi dan perijinan, penyediaan media partner, sponsorship, administrasi, dan lain-lain. Kerjasama ini kami lihat cukup kondusif. BCCF selaku pihak yang memberikan ide-ide kreatif pragmatisnya yang kemudian dieksekusi oleh mahasiswa.

Hal menarik yang paling saya rasakan dalam kepengurusan ini adalah kuantitas SDM yang diberdayakan cenderung sangat sedikit, namun cukup kompeten. Kami cukup nyaman dengan bekerja dengan sedikiti partner namun dengan integritas yang tinggi ketimbang dengan jumlah yang cukup komunal. Memang, agak merepotkan ketika beberapa diantara kami harus mengambil lebih dari satu peran di dalam hari yang sama, namun semuanya saya rasa berjalan dengan cukip baik. Semoga saja kedepannya kami mampu membuat gerakan-gerakan kreatif lainnya, tentunya dengan kekuatan yang cukup.

Jurnal Kampung Festival #6: Akupkuntur Kota dan Kampung Kreatif

Sebelumnya saya terangkan bahwa Helarfest: Kampung Festial Tamansari termasuk dalam program Akupkuntur Kota dengan mewujudkan 5 Kampung Kreatif yang digagas oleh Bandung Creative City Forum (BCCF), dan jurnal ini saya kerucutkan untuk sedikit membahas tentang program Kampung Kreatif tersebut. Apa yang saya tulis disini berasal dari informasi yang saya dapat sedikit demi sedikit dari pihak BCCF, kembali saya terangkan bahwa jurnal ini saya buat dalam prespektif saya sebagai seorang kontributor junior, bukan sebagai copywriter BCCF, sekiranya saya mohon maaf sejak dini  jika terdapat beberapa kesalahan dalam pembahasan selanjutnya.

Akupkuntur, jika dilihat dari etimologi bahasanya berarti sebuah terapi kesehatan tradisional (pengobatan alterantif) yang berasal dari Cina. Sebagai sebuah terapi pengobatan, saya melihat bahwa isitilah akupkuntur kota diperuntukkan untuk ‘mengobati’ kampung-kampung yang tentunya, hadir bersamaan dengan segala permasalahan yang cenderung kompleks. Konsep pengobatan alternatif pun disini menguatkan bahwa program tersebut dilakukan oleh pihak-pihak alternatif, atau dalam kasus ini, pihak kreatif, bukan oleh pihak yang seharusnya melakukan perombakan sebagaimana mestinya.

Masalah-masalah yang terdapat pada pemukiman padat di tengah kota terlihat amat kompleks, sangat kompleks. Dari wilayah pragmatis praktis hingga masalah-masalah yang lebih konseptual. Seperti masalah-masalah sosial, kultural, ekonomi, pendidikan, lingkungan, dan entah berapa masalah lagi yang harus saya tuliskan. Warga kampung seringkali menjadi bulan-bulanan pembangunan, mereka terlantar dan cenderung tidak dilihat sebagai komunitas yang memiliki signifikasi yang pantas dilihat, padahal, mereka ikut mengembangkan roda perekonomian kota.

Kehilangan rasa kepemilikan saya rasa merupakan masalah utama dari segala permasalahan pemukiman-pemukiman seperti ini (seperti yang saya singgung sebelumnya), dan mengembalikan rasa kepemilikan-lah saya rasa dapat mejadi solusi utama akan masalah-masalah tersebut.

Mengembalikan rasa kepemilikan warga dapat diwujudkan dengan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh sebuah kampung. Salah satu contohnya, adalah Kampung Akustik yang berlokasi di wilayah CIcadas, Bandung. Cicadas yang bagi masyarakat Bandung adalah pemukiman sangat padat yang tentunya akan disertai dengan friksi-friksi sosial yang mampu memicu hadirnya tindakan-tindakan kriminal. Impresi ini yang melekat pada kawasan Cicadas selama beberapa lama, namun program Kampung Kreatif melihat bahwa Cicadas memiliki potensi-potensi khusus yang sayang jika tidak dikembangkan. Meidasi yang dilakukan pihak kreatif kemudian mengarahkan masyarkatnya untuk membentuk sebuah komunitas kreatif yang menghimpun oengamen-pengamen jalanan dan diarahkan untuk memberikan output berupa kegiatan-kegiatan yang lebih terstruktur sehingga pada akhirnya diharapkan dapat memberikan manfaat. Salah satu wujud nyata dari program ini adalah lahirnya beberapa lagu yang dibuat oleh pengamen-pengamen jalanan yang kemudian direkan dengan penanganan yang profesional, sehingga lagu hasil rekaman dapat dinikmati masyarakat lebih baik. Program lainnya adalah Kampung Festival Tamansari dengan output berupa acara Desa Taman Hewan Festival dan Mural Atap Tamansari.

Masih ada beberapa Kampung Kreatif binaan BCCF yang belum bisa saya ceritakan karena masih kurangnya informasi yang saya dapat. Namun tetap, apresiasi yang luar biasa akan selalu tertuju pada BCCF karena inisiatifnya dalam membina dan membangun kota Bandung menjadi kota yang lebih baik, dan yang pasti, menjadi kota yang selalu kreatif.

Jurnal Kampung Festival #5: Tentang Masyaraktnya

Jurnal ini saya dedikasikan khusus untuk warga kampung Taman Hewan yang dengan sepenuh hati bersedia membantu panitiia, tanpa pamrih, dan tanpa imabalan materi,

Interaksi intens yang saya lakukan belakangan baik dalam tahap riset maupun proses pengerjaan kemudian memfasilitasi saya auntuk mampu berkenalan cukup dekat dengan beberapa warga RW 08 Kampung Taman Hewan. Awalnya, saya tidak mengira bahwa proses kolaborasi yang kami lakukan akan berjalan sekondusif ini (meskipun pada awalnya acara ini bertujuan untuk meningkatkan silaturahmi antara kaum kreatif dan masyarakatnya), dengan asusmsi bahwa warga kampung mungkin akan acuh tak acuh selama proses persiapan acara. Pikiran skeptis yang sebelumnya terbersit dalam benak saya kemudian dicerahkan dengan sikap dan tindakan warga kampung yang amat sangat mengapresiasi niatan (baik) kami, tanpa pretensi politis maupun ekonomi. Warga dengan amat tanpa pamrih bersedia membantu dan menyediakan persiapan penyelenggaraan acara Kampung Festival Tamansari. Pada jurnal sebelumnya saya utrakan bahwa kami sering merasa terlalu dijamu dengan baik jika kami mengunjungi kawasan tersebut, dan rasa salut tersebut terus melekat dalam benak panitia selama proses pengerjaan, dan saya rasa sampai kapan pun, ketika acara berakhir dan saya menyempatkan diri untuk mengunjungi tempat tersebut.

Setiap kampung tentunya memliliki tokoh masyarakat, pun kampung ini, kampung Taman Hewan. Sebut saja Cuki, atau Tjuki, sering saya panggil Kang Cuki, karena usia dan juga wibawa serta peringainya (saya yakin ketika beliau akan terbahak-bahak membaca kalimat ini). Bandung memang sempit, saya cukup kaget ketika menjadari bahwa beliau adalah personil Tjukimay, iya, Tjukimay, band thrash-punk (maaf jikalau tidak valid) yang bagi sebagian orang sarat anarkisme dan blablablanya, nama panggilan Cuki pun tercetus dari nama grup musiknya. Tapi ternyata tidak seperti itu, beliau adalah individu yang cukup mulia, agak berlebihan mungkin ya. Banyak pelajaran yang saya dapat dari dia, beberapa diantaranya bahkan membuat saya cukup tercengang, ini itu dan sebagainya. support yang luar biasa besar saya dapat dari beliau, mulai dari pengayaan sarana dan fasilitas, mediasi ke warga lain, kordinasi keamanan acara, kebersihan, hingga revisi konten acara yang pada akhirnya ikut mensukseskan acara ini, seringkali bincang-bincang pun berujung pada berbagi referensi musik, beberapa diantara playlist beliau dan saya beririsian di beberapa genre. Proses sharing tidak berhenti disitu, banyak materi tentang bagaimana menjalani hidup dengan baik saya dapatkan dari beliau, juga psikologi warga kampung. Menarik ketika saya diperkenalkan pada beberapa fakta yang agak-agaknya kurang baik jika saya tuliskan disini, namun penting dalam proses persiapan acara, membantu, sangat membantu. Dan pada akhirnya saya merasa dianggap sebagai adik, ya seorang adik (seperti rasanya punya kakak punkrockstar), pun kontributor yang lain, kami dijamu, dan juga dilayani dengan baik. Banyak cerita yang menyebutkan bahwa beliau rela menyempatkan diri untuk membina kampungnya, menyediakan berbagai ide demi kebaikan warga, dan bahkan, mencoba memberikan lapangan pekerjaan pada beberapa warga yang kurang beruntung. Beliau bukan orang bergelimang harta, bukan, tapi seorang warga yang tergerak hatinya untuk memasyarakatkan masyarakatnya, memanusikan manusia sekitarnya, dan juga, memperkenalkan warga kepada dunia urban, beserta budayanya.

Tokoh kedua yang sekiranya harus saya tuliskan disini adalah Pak Kurnia, atau lebih sering saya panggil Mang Nia. Seorang warga kampung yang cenderung pemalu, tidak banyak bicara, lebih sering diam dan mendengarkan, namun tidak pernah sungkan untuk memberikan masukan, dan juga memberi support dalam acara ini. Sering sekali kami harus merepotkan beliau selama pross pengerjaan acara dan kembali, sebagai warga yang tergerak untuk mengembangkan kampungnya, beliau dengan semangat membantu kami, dan lagi, tanpa pretensi apapun. Banyak cerita yang saya dengar tentnag beliau dari bincang-bincang warga, beliau adalah warga yang amat aktif dalam organisasi Karang Taruna, dan selalu terpilih menjaid ketua Karang Taruna selama hampir 2 dekade, baru beberapa waktu belakangan beliau enggan untuk menjabat sebagai ketua, karena beliau khawatir bahwa kaum muda kampung tersebut nantinya enggan untuk melanjutkan rantai estafet semangat pemuda yang dahulu dipegang oleh Mang Nia.

Tentunya masih banyak sekali individu yang harus saya sebutkan menimbang banyak sekali kontribusi warga yang kami dapatkan dalam kelangsungan acara ini, seperti Pak Giri, sang kepala Pertahanan Sipil warga GASEPAN, Pak Hendi sebagai warga yang mengurusi perimeter persiapan maupun hari acara, namun sayangnya saya belum bisa menuliskan semua warga yang banyak membantu kami. Namun apa yang lebih penting dari semua hal tersebut adalah, bahwa masih ada warga kampung yang mau membangun kampungnya sendiri, mau berkorban demi kampungnya sendiri, dan terbuka pada dunia luar. Saya harap kreatif muda lainnya tidak segan untuk turut terjun ke kampung dan mencoba encari solusi untuk menengahi masalah-masalah tipikal yang terjadi pada kawasan pemukiman padat.

Jurnal Kampung Festival #4: Riset Lapangan dan Jangan M*D*L Disinih

Sebuah solusi kreatif, dalam kasus ini, acara Helarfest: Kampung Festival Tamansari, tentunya memerlukan sebuah proses riset yang cukup koheren agar eksekusi kreatif yang kemudian dilakukan tepat sasaran dan efektif. Memang, titik terjauh dari proses Kampung Kreatif adalah untuk membangun inisiatif masyarakatnya agar mau membangun kampungnya sendiri, namun tujuan besar tersebut agaknya bisa dibangun dari beberapa eksekusi yang sifatnya praktikal, misalnya, dengan membangun rasa kepemilikan warga pada kampungnya (seperti yang saya singgung sebelumnya) dengan sedikit menyematkan nilai pada situs tersebut.Tulisan ini akan saya persempit pada permasalahan mural atap, yang sebelumnya solusi kreatif dalam memecahkan masalah sosial dan ekonomi disini adalah dengan mengecat atap yang kemudian setidaknya akan memunculkan signifikasi secara visual, terlebih jika dilihat dalam sudut pandang bird-eye view atau sudut pandang manusia pada tempat tinggi, seperti jalan layang Pasupati.

Mural Atap yang akan dikerjakan pun direncanakan akan menggunakan warna biru sebagai background dari proyek ini. Warna ini dipilih berdasarkan nilai simbolis yang tersemat di dalamnya. Tidak cukup berlebihan jika warna biru dianggap mampu merepresentasikan Bandung, sebut saja Bandung yang dahulu sebagai Telaga tentunya menghiasi warna manusianya dengan biru, atau bahkan Persib, cukup kental dengan warna birunya. Biru akan mampu mewakilkan Bandung yang dahulu dikenal Telaga. Terlebih, sekiranya dapat dibentuk metafora bahwa Pasopati kemudian melintas diatasnya, melintas diatas Bandung yang dahulu adalah danau biru.

Warna biru sebagi latar kemudian akan dihiasi garis-garis berwarna yang akan dilukiskan pada titik temu atau puncak atap rumah-rumah kampung. Hal ini rasanya diperlukan untuk melukiskan keberagaman yang dimiliki masyarakat kampung pada umumnya dan masyarakat Bandung pada khususnya. Serta, garis-garis warna-warni tersebut diaharapkan mampu menyampaikan makna dari frasa Kebon Kembang sebagai tajuk dari kampung tersebut, yang sayangnya sudah tidak lagi terlihat dengan jelas pada kawasan kampung tersebut. Konsep inilah yang menjadi konsep awal selama pengerjaan mural atap, selanjutnya bisa saja terjadi beberapa penyesuaian jika memnag dibutuhkan.

Agak lumrah sekiranya jika konsep akan selalu bersitegang dengan lapangan, berangkat dari konflik ini, sebuah riset lapangan kami lakukan agar eksekusi teknis menjadi efisien dan kecelakaan kerja mampu diminimalisir. Dengan tujuan awal riset lapangan, kami merasa bahwa moment ini bisa juga disertai dengan proses sosialisasi ke warga, dengan sistem door-to-door, pintu ke pintu, kami pilih agar proses sosialisasi kepada warga menjadi lebih intim, meskipun mungkin agak kurang efektif.

Respon yang kami dapat selama proses tersebut pun cukup beragam, majemuk. Ada beberapa warga yang kemudian dengna cukup antusias menyetujui dan mengizinkan atapnya untuk dieksekusi, atau dicat, ada beberapa warga yang kurang tertarik namun masih mengizinkan atapnya untuk dieksekusi, dan ada pula warga yang menolak eksekusi lapangan.

Penolakan warga disini menjadi amat logis, mereka sadar dan paham betul rumahnya sudah berdiri puluhan tahun dan diindikasikan agak ringkih, rapuh dan juga cepat rusak, jika saja harus diinjak-injak selama proses pengecatan berlangsung.

Memang pada awalnya kami kewalahan untuk meyakinkan warga, namun dengan strategi perusasi yang baik, pada akhirnya warga dengan ikhlas bersedia untuk ikut serta dalam acara ini, setidaknya meminjamkan atapnya untuk kami eksekusi. Kebetulan riset pertama kami tentukan pada saat-saat puasa, di bulan penuh berkah itulah kami mencoba untuk sedikit berbagi kepada warga, setidaknya hanya kue lebaran seadanya, untuk menunjukkan bahwa kami cukup peduli pada mereka selaku warga kampung yang mungkin selama ini agak dilupakan eksistensinya oleh masyarakat luas.

Beberapa fenomena, atau kejangglan pun kami alami selama proses riset ini. Yang paling unik bagi saya priadi adalah, sebuah sign system yang bertuliskan “DILARANG MODOL DISINIH, JELEK LIATNYA” dekat sebuah toilet umum yang berada pada kawasan Kebon Kembang. Iya, benar, tulisan tersebut dicetak diatas kertas A4 yang kemudian dilaminating, dengan huruf arial black, secara tegas melarang warganya untuk (maaf) buang air besar sembarangan. Awalnya saya bingung, peradaban seperti apa yang dengan memperbolehkan warganya untuk (maaf sekali lagi) buang air besar sembarangan. Tapi ketika saya berada di lapangan dan mencoba mensimlasikan situasi genting hingga ada warga yang sampai hati atau lupa diri melakukan hal tersebut, beberapa penjelasan logis kemudian bermunculan dalam benak saya. Bagimana tidak, sebuah pemukiman padat penduduk dengan space rumah yang amat sempit tentunya memerlukan sebuah sarana toilet umum. Dan bayangkan jika setiap pagi warga harus berbondong-bondong mengantri untuk giliran bersih-bersih di pagi hari, semuanya bisa saja terjadi, manusia pun bisa lupa diri. Belum lagi persoalan ‘jelek dilihat’ menjadi tajuk utama dalam sign system tersebut, seolah bukan masalah kebersihan yang lebih dipedulkan warga, atau lebih buruk lagi, seolah warga kampuns\g sudah terbiasa denga lingkungan hidup yang kurang sehat.

Uraian diatas tidak saya maksudkan untuk (maaf) sedikit merendahkan waga, bukan. Hanya saja saya prihatin, amat prihatin dengan kondisi tersebut (meskipun pada awalnya saya merasa bahwa fenomena tersebut cukup jenaka, namun setelahnya hal ini bagi saya merupakan representasi dari akutnya kesenjangan sosial yang terjadi pada kawasan-kawasan kampung seperti ini). Buruknya sistem dan manajemen sanitasi kota boleh saja kita jadikan kambing hitam. Namun seperti apa yang telah kita ketahui, mereka, warga kampung, bukanalah warga yang mampu berdiri sendiri, perlu dukungan dari kita, selaku masyarakat yang lebih beruntung, dan kemudian melahirkan tanggung jawab kepada kita untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial, lingkunganm dan semoga saja budaya dengan bekerja sama dan mencoba peduli satu sama lain.

Jurnal Kampung Festival #3: Ramah Someah Warga Kampung

Warga Bandung, memang selalu dikenal memiliki perilaku yang ramah dan tatakrama yang amat sopan. Mungkin ini berasal dari konsruksi budaya Sunda yang sudah cukup kuat melekat dalam diri masyarakat Bandung. Belakangan sifat ini kemudian telah tergeser oleh profesionalisme, sifat serba efisien, dingin, seperlunya, dan cenderung terburu-buru kemudian mulai menggantikan wajah ramah warga Bandung, meskipun memang hal ini dilatarbelakangi oleh profesi. Namun, sifat ramah tersebut tidak sepenuhnya hilang dari wiayah ini, namun memang, sifat tersebut akan terasa amat kental ketika kita mengunjungi wilayah-wilayah peripheral, atau dengan kata lain, di kampung-kampung.

Hal tersebut saya rasakan dan saksikan ketika saya mengadakan beberapa kali mediasi dan sosialisasi dalam kepentingan acara Helarfest: Kampung Festival Tamansari. Tidak jarang kami merasa agak segan karena terlalu banyak ditawari ini itu, lebih jauh lagi, kesediaan warga untuk menyediakan berbagai macam hal yang tentunya membutuhkan banyak tenaga (karena warga sendiri mengakui tidak bisa membantu dukungan materi dalam skala signifikan). Mereka, warga kampung, amat antusias dengan diadakannya acara tersebut, sangat menghargai, amat mendukung, dan sangat mengapresiasi proses acara. Semakin lama saya semakin yakin bahwa program kampung kreatif akan benar-benar bisa terwujud, dan memang, kami selaku komunitas kreatif hanya memberikan sebuah ide, sebuah percikan api kecil yang di kemudian hari akan diteruskan oleh warga api semangatnya.

TIdak semua kampung mungkin seramah kampung ini, Kampung Taman Hewan. Mereka dengan sepenuh hati mau membantu panitia dalam proses persiapan hingga puncak acara. Mereka dengan aktif dan dengan penuh semangat atau bahkan pengorbanan (agak sedikit meninggalkan rutinitas sehari-hari) membantu pengerjaan acara secara menyeluruh, dari proses pematangan ide hingga eksekusi teknis. Sayang, beberapa kampung mungkin tidak seterbuka ini, sayang. Dan seringkali saya merasa bahwa hal tersebut menjadi wajar ketika saya melihat bahwa warga kampung atau pemukiman padat sering dijadikan bulan-bulanan pembangunan, mereka sakit hati, mereke tidak melawan, mereka merasa tidak bisa melakukan perubahan.

Sifat kepasrahan pun pernah melanda warga Kampung Taman Hewan, namun puji Tuhan mereka pada akhirnya dengan antusias mau membantu panitia, membuka hati, diri, dan pikiran.

Pengalaman nyata yang saya rasakan adalah mungkin ketika panitia mengadakan buka bersama warga yang berlokasi di Kampung, untuk tujuan sosialisasi acara. Dengan memberikan uang seperlunya untuk keperluan konsumsi, dan beberapa alat tambahan untuk keperluan presentasi, sosialisasi pun berlangsung dengan sangat baik. Terbentuk sebuah dialog interkaktif antara warga dan panitia. Sangat kondusif, banyak pertanyaan dan kebingungan dari warga yang kemudian kami jelaskan, kami cerahkan. Dari masalah konsep hingga masalah taknis. Dialog sangat nyaman ini pun ditutup dengan sebuah jamuan amat sangat sederhana, namun nikmat luar biasa, agak berlebihan mungkin ya, tapi memang, saya harus memeberikan honorable mention pada author dari sambel pedas agak manis yang disediakan di meja jamuan. Belakangan saya merasa bahwa, warga Bandung adalah warga yang hangat dan ramah, bertutur kata akrab tapi sopan, perilaku yang santun, dan juga pikiran yang terbuka. Semoga kedepannya semua kampung, atau bahkan pemukiman urban di wilayah Bandung mampu menajdi sebuah pemukiman ramah yang terbuka, dan mau melestarikan kotanya.