Seni, Ilmu, dan Teknologi, sekiranya hanya berintegrasi sebagian.
Dewasa ini, manusia hidup dalam dunia yang secara global amatlah unik, amat kompleks, amat majemuk, dan amat berkesinambungan satu sama lain. Dengan segala keterbukaan pemikirannya, berbagai pemikiran mengenai korelasi seni, ilmu dan teknologi pun berkembang. Terjadi sebuah paradoks ketika derasnya arus globalisasi mengantarkan ketiga disiplin ilmu tersebut saling menyokong satu sama lain demi kelangsungan hidup manusia namun di satu sisi terus terjadi pengerucutan dan spesifikasi antara keduanya (seni dan IPTEK) dalam skala yang cukup signifikan. Bentuk nyata dari integrasi ketiganya pun baru muncul ketika ditemukannya istilah seni dekoratif dan seni terapan yang kemudian berkembang menjadi desain dan kriya, yang uniknya tetap dikerucutkan dan dispesialisasikan menjadi sebuah disiplin ilmu baru meskipun terbentuk dari pengkomposisisan yang unik antara seni, ilmu, dan teknologi.
Seni dan ilmu dan teknologi (IPTEK) seringkali dianggap sebagai dua kutub yang amat berbeda, baik dalam lingkup kajiannya, atuapun pada praktiknya. Seni sebagai disiplin keilmuan yang lekat dengan konsep humaniora yang bersifat abstrak kemudian dianggap amat bertolak belakang dengan ilmu dan teknologi yang bersifat realistis dan empiris yang mengedapankan penggunaan rasio dalam praktiknya. Integrasi antara ilmu dan teknologi terjadi dengan sendirinya dan diterima begitu saja dan dianggap sebagai sebuah kelaziman global yang kemudian dikuatkan dengan hadirnya akronim IPTEK sebagai paduan dari keduanya.
Kekhawatiran akan disintegarasi antara seni dan iptek yang semakin jauh pun terjadi, minimnya interaksi antara keduanya pun memicu ketidakpahaman dan ketidakmengenalan satu sama lain yang ditakutkan akan memunculkan kendala dalam memecahakan problematika masyarakat yang kian rumit.
Uniknya, pada awal perkembangannya, seni, ilmu, dan teknologi dianggap sebagai satu kesatuan, hal ini dapat dilacak dari sejarah peradaban manusia yang terdapat dalam beberapa istilah yang dikamuskan. Sebagi contoh, istilah Yunani techne yang berarti kecakapan atau ketearmpilan yang berguna yang selalu dipadankan dengan seni. Makna ini pun berkesinambungan dengan arti seni yang terdapat dalam kamus-kamus besar yang banyak digunakan sebagai acuan oleh masyrakat global. Lebih jauh lagi, cakupan techne sangatlah luas, tidak terbatas pada konsepsi seni yang dipahami sekarang, namun juga mencakup ilmu-ilmu terapan, industri, bangunan, perang, navigasi, obat-obatan, pertanian, dll. Konsep techne inilah yang kemudian dianggap sebagai cikal bakal dari seni, ilmu, dan teknologi, yang pada perkembangannya, terlebih pada era industrialisasi, dirasa perlu dipisahkan dan dikerucutkan menjadi ilmu-ilmu baru yang terpisan satu sama lainnya pada abad ke 18. Hal ini kemudian menjadi bumerang pada perkembangan keduanya karena tidak ada jembatan penghubung yang nantinya akan menghambat perkembangan keduanya.
Istilah techne lebih dikenal sebagai ars (dari bahasa latin) di benua Eropa, yang kemudian dipisahkan menjadi dua, yakni artes liberals dan artes serviles. Pemisahan didasarkan atas banyaknya kecakapan yang tercakup dalam istilah techne itu sendiri. Artes liberals berarti seni untuk orang-orang merdeka yang memaparkan nilai-niai adiluhung, utama, halus, terpelajar, dan aristokrat yang mencakup tujuh bidang keacakapan/keahlian, yakni tata bahasa, dialektika, retorika, aritmetika, geometri, musik, dan astronomi. Kemudian kembali dikelompokan menjadi trivium (tata bahasam dialektika, dan retorika, yang kemudian menjadi cikal bakal istilah humaniora) dan quadravium (aritmetik, geometri, astronomi, dan musik). Sedangkan artes serviles adalah seni untuk kaum-kaum pelayan, budak, dan rakyat, yang mencakup budaya rendah lainnya yang memerlukan tenaga kasar dan berkonotasi pertukangan. Keahlian ini terdiri dari seni lukis, seni patung, arsitektur, teknologi transportasi, teknologi senjata, dll. Pada perkembangan selanjutnya, Leonardo Da Vinci, seorang seniman lukis dan juga ilmuwan di bidang matematika, fisika, biologi, arsitektur dan persenjataan membuat perubahan pada konsep liberal art, beliau mengemukakan bahwa seni lukis tidak hanya mengandlakan keterampilan menguas dan pengetahuan akan cat saja, pun memerlukan keterampilan yang tidak kalah sulitnya dibanding fisika dan biologi, terutama di bidang perspektif dan anatomi, seni lukis pun mampu mencapai tujuan moral teretentu layaknya puisi melalui sikap dan ekspresi wajah yang dituangkan dalam lukisan, kemudian seni lukis pun naik menjadi bagian dari seni tinggi. Perkembangan ini pun kemudian diikuti oleh seni patung yang diperjuangkan oleh Michelangelo, yang menekankan bahwa mematung tidak hanya memerlukan kekuatan tangan laiknya tukang, namun juga memerlukan perhitungan yang presisi dan sistematis, pun mampu menyampaikan sesuatu yang bersifat metafor dan puitif. Liberal arts pun kemudian mengalami spesifikasi kembali, yakni menjadikan keindahan sebagai substansi utama yang diperjuangkan, menyisihan nilai-nilai pakai yang terdapat. Karena dirasa adanya pemurnian, istilah liberal arts yang dirasa kurang mewakili makna yang terkandung kemudian digantikan dengan fine arts, yang berkonotasi seni yang murni untuk keindahan, berfokus pada seni lukis dan seni patung yang menggeser seni musik dan kesusastraan pada daftar cakupannya, konsepsi ini kemudian dikenal dengan seni rupa. Meskipun banyak terjadi pergeseran pada konsep awal liberal arts yang amat mendasar, konsep liberal arts masih dipegang hingga saat ini dalam disiplin ilmu humaniora.
Pemisahan dan perkembangan diatas pun turut terjadi pada ilmu dan teknologi, perkembangan ilmu dan teknologi kebanyakan dipengaruhi oleh aspek pendidikan dan penelitian, merebakanya institusi teknik di Eropa kala itu menghadirkan sebuah profesi baru yang disebut scientist atau ilmuwan yang berpegang pada konsep bahwa ilmu pengetahuan dapat memberikan banyak manfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Teknologi kemudian berjalan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, hal ini diakibatkan ilmu pengetahuan memerlukan teknologi dalam pengaplikasiannya secara langsung dalam kehiduan manusia. Perkembangan teknologi di Eropa ditandai dengan munculnya banyak politeknik yang terjadi setelah merabaknya institusi yang memfokuskan diri pada ilmu pengetahuan.
Interaksi antara seni dan industri pada era industrialisasi menyebabkan benturan yang cukup kontroversial, disatu sisi seni semakin mengukuhkan dirinya dan uniknya benturan ini melahirkan genre seni yang baru, yakni pop art, seni popular, seni massa. Ditemukannya mesin cetak mengantarkan seni ke dalam gerbang indusrialisasi, yakni produksi massa pada karya seni dan dibuatnya standardisaasi karya seni. Hal ini jelas membuat seniman yang masih berpegang teguh pada konsepsi seni untuk seni yang lekat dengan eksklusifitasnya tidak menyetujui adanya industrialisaasi seni, ditandai dengan dicetuskannya otonomi seni yang mencakup fine arts sebagai seni tinggi, sedangkan seni untuk industri diangap seni rendah karena hilangnya jiwa seni pada segmen ini juga telah dicemari oleh paham kapitalisme seperti seni musik pop, novel, film, dan seni pertunjukan pop.
Dari benturan tersebut pun lahirlah istilah baru yang disebut seni tengah (middle art), yakni desain dan kria, merupakan perkembangan dari industrial art, seni dekoratif, atau seni terapan. Desain lahir dari kebutuhan estetis yang disadari pihak industri pada perancangan produk industrinya terhadap seni, hal ini tidak menuai banyak kontroversi karena berbeda dengan konsep meng-industriliasi-kan seni atau menjadikan seni sebagai sebuah komoditi yang layak dijual, mengenyampingkan tujuan awal seni itu sendiri. Mekipun memerlukan estetika, industri tetap saja mengutamakan nilai fungsi dari sebuah produk sehingga seringkali terjadi pereduksian niai estetis pada suatu produk karena dinilai mengurangi nilai praktik atau terbentur biaya produksi.
Memasuki abad ke 19 yang kerap disebut sebagai era saintisme, seni mulai mengadopsi dan mengambil manfaat dari berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, diawali oleh berkembangya Impresionisme yang setidaknya “meminjam” konsepsi seorang Maxwell sebagai ilmuwan mengenai teorinya mengenai cahaya, kemudian Kubisme yang dipelopori Picasso yang cukup terinfluence oleh teori relativitas Einstein, penganut aliran Futurisme yang merupakan bentuk respon seniman terhadap mesin dan teknologi, dan surrealisme, atau super-realisme yang bersumber dari teori psiko-analisis Freud.
Hal tersebut pun terjadi di bidang ilmu dan pengetahuan, setidaknya ketidakrasionalan pemikiran seniman yang imajiner dan kreatif sedikit banyak menginspirasi para ilmuwan dalam meneliti sesuatu dan menteorikan-nya, membuktikan ‘kegilaan’ yang dikemukaan para seniman mengenai pemikirannya atas sesuatu. Terbukti bahwa proses kreasi seniman dalam berkarya sering menjadi model proses kreatif para ilmuwan untuk menciptakan penemuan-penemuan baru.
Perkembangan teknologi yang kian pesat di abad 20 ini menimbulkan banyak dampak yang menarik, selain memberikan banyak kemudahan dan kepraktisan, revolusi iptek yang hebat ini malah menimbulkan tekanan yang cukup signifikan bagi manusia. Berkembangnya banyak alat yang mampu membantu manusia dalam beraktifitas malah mengasingkan manusia itu senidiri dari lingkungannya. Seperti pernyataa seorang pemikir yang menyatakan: ditengah mesin yang menambah daya organisnya, manusia semakin teralienasi.
Globalisasi dan revolusi iptek tidak dapat dipungkiri amat mengasingkan manusia dari lingkungannya, dan disini, seni menujukan perannya sebagai penyeimbang yang menyerukan isu humanisasi. Seni berperan penting dalam merespon laju aktivitas manusia modern yang semakin ter-mesin-nisasi, isu humanis ini kerap kali dilontarkan dengan cukup konfrontatif, satir menyindir, dan radikal, menentang konsep kapitalisme yang semakin membendakan manusia. Dan pada akirnya, seni berperan sebagai sesutau yang mampu memanusiakan manusia di tengah keterbuaaian manusia akan kapitalisme yang membuat manusia lupa akan alam, lingkungan, Tuhan, bahkan diri dan sifatnuya sendiri sebagai manusia yang hakiki.
Fenomena kontemporer yang dialami masyarakat industri adalah pecahanya fenomena seni yang dianut sambil memabawa unsur utamanya, yakni seni modern yang tetap berpeganag teguh pada nilai estetis dari seni itu sendiri, kemudian seni industri yang menganut pemahaman untuk memcahkan masalah memerlukan komposisi nilai estetik yang direduksi dan dipadukan dengan nilai fungsi dan praktis , dan seni massa yang megabaikan fungsi seni itu sendiri dan menjadikan seni sebugai sebuah komoditi yang patutu dijual demi meraup untung yang sebanyak-banyaknya. Ketiganya telah terpisah jurang yang cukup jauh dan menyebar luas ke seluruh penjuru bumi.
Kesimpulannya, dengan segala kemajemukan yang dimilki masyarakat industri, hadirlah desain sebagai bentuk nyata integrasi dari seni, ilmu, dan teknologi, merupakan bentuk interrelasi yang cukup mewakili kedua kutub yang berlawanan tersebut. Desain dinilai sebagai sesuatu yang mampu mewakili nilai humanistis yang tertuang dalam suatu produk industri namun juga mewakili kepentingan pihak industri yang berbekal penguasaanilmu dan teknologi yang baik yang menjadikannya komoditi yang kembali dipengaruhi pasar dan massa.