MANIFESTASI

Sekumpulan tulisan lepas dari seorang akademisi yang menaruh perhatian yang besar terhadap seni

Jurnal Kampung Festival #2: Latar Belakang Acara

Dalam jurnal  sebelumnya saya utarakan beberapa latar belakang mengenai lahirnya acara ini. Hal yang mungkin paling saya garis bawahi disana adalah masalah kesenjangan sosial dan ekonomi yang seringkali menimpa masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan padat penduduk atau yang lebih akrab dipanggil kampung. Kesenjangan sosial semakin terlihat jelas ketika kawasan-kawasan padat penduduk tersebut berada di wilayah perkotaan, contoh yang cukup representatif dan juga berada dalam wilayah kajian riset kami adalah wilayah tamansari, khususnya kebon kembang dan taman hewan. Kontras yang amat kentara terlihat dari juxtaposisi berdirinya gedung-gedung mewah nan menjulang tinggi atau mega-infrastruktur kota yang ‘lucunya’ mengapit (atau jika saya seorang fatalis, menggerus) keberadaan kampung-kampung tersebut. Wlayah taman hewan mislanya, disekitarnya diapit oleh meghanya bangunan bangunan tinggi yang juga berfungsi sebagai hunian, apartemen, atau wilayah kebon kembang yang beberapa kawasannya terpaksa digusur demi berdirinya jembatan pasopati sebagai salah satu pra-sarana transportasi kota bandung (belakangan fungsinya kemudian bergeser menjadi landmark kota Bandung). Warga kampung seolah tak berdaya dalam menyikapi situasi ini, namun saya sendiri bingung apakah pembangunan kota menjadi kambing hitam dari fenomena ini. Sekiranya pembangunan kota tidak serta merta menghasilkan kerugian, tapi justru membantu perkembangan ekonomi kota ini, Bandung. Namun, wacana yang mungkin dapat dibahas lebih lanjut adalah, apakah warga-warga kampung dengan (maaf) kekuatan baik politik dan ekonomi seadanya kemudian terus-menerus menjadi korban akan pembangunan kota?

 

Dalam serangkaian proses mediasi dan juga riset saya menemukan bahwa warga kampung sendiri agak kecewa dengan sikap beberapa otoritas yang berkesan mengacuhkan mereka, mereka mengeluh, dan kadang mengumpat. Cenderung apatis dan acuh, Wajar saja, jika kita melihat dari sudut pandang mereka yang sekiranya merasa agak dirugikan akan adanya pembangunan-pembangunan. Kehilangan tempat tinggal, kurang layaknya ganti rugi, rusaknya lingkungan hidup dan munculnya polusi (saya kira ini tidak serta merta dapat kita serahkan tanggung jawabnya pada pembangunan), dan  beberapa kerugian lainnya terlontar dari beberapa ucapan mereka. Agak miris dan pada awalnya saya sendiri cenderung mengasihani mereka dan agak sinis terhadap pembangunan kota yang cenderung merugikan mereka. Tapi coba lihat dari sudut pandang lain, sebagai seorang interpreter yang kemudian mencoba menilai fenomena ini dengan netral saya melihat bahwa di sisi lain pembangunan kota Bandung cukup memberikan dampak positif yang signifikan bagi kota ini. Meningkatnya penghasilan kota, meningkatnya taraf hidup warga, dan beberapa manfaat lainnya.

 

Sedikit mengulas mengenai kapitalisme, apakah memang pari kapital tersebut layak kita salahkan? Layak kita umpat? Layak kita maki? Belum tentu. Mayoritas masyarakat Bandung (atau bahkan, dunia) tidak bisa lepas dari apa yang mereka lakukan. Manusia kontemporer sudah terlanjur hidup dan mengaitkan diri pada sistem kapitalis ini, dan saya pribadi tidak bisa membayangkan jika kapitalisme benar-benar dihilangkan dari muka kota Bandung, mungkin chaos, atau bisa saja terjadi jika pihak otoritas memiliki kuasa sebesar itu untuk mampu melakukan stabilisasi ekonomi. Saya rasa ulasan ini akan menarik ketika saya kaitkan dengan beberapa kajian filsafat kontemporer yang mengkaji masyarakat dan kebudayaan kontemporer, singkatnya, kebudayaan kontemporer yang dikendalikan oleh kapital mampu melakukan reifikasi (reification, coba anda cari sendiri maknanya) dan pendangkalan masyarakat secara menyeluruh (ketika masyarakat lebih tertarik pada pesona-pesona nilai makna yang disematkan kapital dengan strategi publikasi pada produk-produknya dan kemudian menjadikan masyarkatnya banal dan hanya memaknai wilayah-wilayah permukaan dalam kehidupan (atau materi) sehingga masyarakat kontemporer kemduian terikat dan agak sulit dilepaskan dari signifikasi kapitalisme di dunia. Saya kira dapat saya batasi disini, ini jurnal acara bukan kuliah filsafat.

 

Lantas apa kita sedang menggenggam buah simalakama? Dimakan salah dibuang salah? Boleh jadi, namum agaknya masih ada beberapa solusi kreatif yang mampu menengahi masalah ini, setidaknya merespon dan mengkritik, belum dalam peran mengkoreksi dan mensubtitusi. Kembali kepada masalah kesenjangan sosial dengan kampung sebagai Dan langkah awal dalam  menyikapi hal ini  adalah dengan mengembalikan rasa kepemilikan manusia terhadap apa yang dimilikinya, atau secara pragmatis, mengembalikan rasa kepemilikan warga akan diri, komunitas, dan kampungnya.

 

Salah satu upaya untuk mewujudkan harapan tersebut adalah dengan kembali melihat warga kampung sebagai substansi yang signifikan dan patut diperhitungkan. Dengan wujud nyata sebuah artefak acara, Kampung Festival, diharapkan warga dapat berkontribusi untuk mengaktivasi kembali kampungnya bukan semata sebagai pemukiman padat penduduk biasa, namun sebuah kampung yang memiliki sebuah potensi. Acara ini kemudian memfasilitasi warga untuk bisa mengaktualisasikan diri dan pada akhirnya dengan sepenuh hati merasa memiliki kampungnya.

Kampung Festival akan mewujudkan dua acara dengan tujuan yang sama, namun dengan eksekusi yang disesuaikan dengan problematika yang hadir karena letak geografis kampung sendiri. Kebon Kembang misalnya, jembatan pasopati yang kemudian harus sedikit mengubah muka kampung ini kemudian berujung pada pengecatan atap sebagai penanda signfikasi warga sebagai solusi kreatifnya. Sedangkan pada kawasan Taman Hewan, podium swadaya warga dan fasilitas lapangan tengah kemudian melahirkan ide akan lahirnya sebuah festival kreatif yang akan diisi oleh pementasan musik tradisional dan kontemporer, community gathering serta pembangunan podium bambu.

seni lupa kontempolel

Cukup menarik ketika beberapa kali saya memergoki beberapa search term yang entah mampir ke blog saya, yang beberapa diantaranya cukup menggelitik saya pribadi. Yak, seni rupa kontemporer dan cara pembuatannya. Saya sendiri agak bingung dalam memahami fenomena ini. Ketika term tersebut saya coba sedikit telaah, boleh jadi munculnya ketikan itu merupakan kesalahpahaman pengguna google search (atau dalam skala yang lebih luas, masyarakat umum) dalam memahami seni rupa kontemporer. Setau saya penggunaan media dalam seni rupa kontemporer amat sangat beragam dan yang pasti akan selalu beriringan dengan progresi teknologi, atau belum lagi karena kebingungan waktu yang tidak berjalan dalam satu arah kemudian mengizinkan kembali para seniman untuk keukeuh menggunakan media-media lama dan merasa hebat karenanya. Bingung kan? wajar, namanya juga tulisan lepas kok, tidak terstruktur dengan baik. Barangkali besok-besok saya post tulisan soal media dalam seni rupa kontemporer dalam kualitas yang lebih koheren ya. Selamat siang!!!!!

Jurnal Kampung Festival #1: Avant-Propos

Indonesia, sebagai negara tentunya menyimpan berbagai macam masalah yang belakangan kian merebak ke permukaan. Sebut saja moralitas, masalah lingkungan, masalah pendidikan, dan di tingkat yang lebih pragmatis, kesenjangan sosial dan ekonomi. Perkembangan ekonomi Indonesia yang katanya kian tahun makin membaik rasanya belum bisa menjawab dan memberikan solusi pada kesnjangan ekonomi yang terjadi hampir secara menyeluruh di negara ini, dari wilayah urban kapital, hingga wilayah-wilayah peripheral. Agaknya tidak cukup berlebihan jika saya menyebut kota bandung sebagai indikator yang cukup represntatif akan masalah-masalah ini.

__________________________________________________________________

Pesatnya perkembangan industri sandang di Bandung sekiranya dapat diindikasikan oleh menjamurnya Factory Outlet, butik, dan distro. Hal ini tentunya mendukung pertumbuhan ekonomi kota ini. Namun, upaya tersebut tetap saja menyisakan masalah. Telebih efek placebo yang disebabkan oleh merebaknya Industri sandang kemudian menutupi karakter-karakter lain dari kota ini.

Selain contoh di atas, ketimpangan-ketimpangan sosial dan budaya kemudian menjadi beberapa masalah lain yang terlihat jelas di kota ini. Sebut saja, wilayah Babakan Siliwangi dan Tamansari sebagai pemukiman padat penduduk yang masih berkesan kumuh (ironisnya) diapit oleh gedung-gedung tinggi dan megah khas kota metropolitan seperti mall, apartemen, hoten, dll. Hal tersebut sekiranya menjadi bukti nyata akan hadirnya kesenjangan sosial yang masih tinggi di kota ini.

Pemukiman padat penduduk (atau ‘kampung’, sebagai padanan kata yang paiing tepat merepresentarsikan wilayah seperti ini) seakan-akan tidak mudah untuk disadari keberadaannya oleh masyarakat kota. Selain karena aksesnya memang sulit, pesona wisata dan hiburan yang ditawarkan oleh gedung-gedung megah yang mengapit pemukiman tersebut seolah menenggelamkan eksistensi, pesona, dan daya tariknya

Kampung di tengah kota seolah-oleh telah kehilangan nilai-nilai yang sempat dimilikinya, local wisdom misalnya, belakangan telah tergantikan dengan kesan kumuh, kotor, tidak terawat, sempit, dsb yang terlanjur melekat pada wilayah Kampung itu sendiri. Hal ini boleh jadi kemudian menjadikan warga sekitar telah kehilangan rasa kepemilikan dan kebanggan terhadap kampungnya, digantikan rasa minder, ‘rendah diri’, dan tak berdaya, sehingga gedung-gedung megah ala kota metropolitan dapat dengan sombongnya berdiri diatas identitas warga kampung.

Di sisi lain, warga kampung seyogyanya adalah segmen masyarakat metropolitasn yang memiliki signifikasi yang cukup kuat tarutama sebagai roda penggerak ekonomi kota. Sebut saja tukang bangunan, penjaga toko, petugas kebersihan, dan penjaga keamanan pada umumnya hidup di kampung. Warga kampung terus-menerus dijadikan objek dan bahkan beberapa kali menjadi korban dari pembangunan belaka.

Masalah tidak hanya telihat dari penuturan sebelumnya, yakni kesejangan sosiall. Minimnya kesadaran lingkungan masyarkat Bandung pun kerap menyisakan masalah-masalah lingkungan yang tentunya dapat menggerus kelestarian alam kota Bandung.

Next Project: Jurnal Kampung Festival

Halo, yak setelah sekian lama vakum dan sibuk ini itu terutama mengurusi akademi dan open call yang saya kerjakan sepenuh hati dan hasilnya tidak masuk kemudian membuat saya kurang produktif dalam hal tulis menulis di web blog ini, sucks.

Kebetulan beberapa waktu belakangan saya sedang sibuk mengurusi sebuah acara yang mungkin tidak asing di telinga kalian, Helarfest. Menjabat menjadi sekretaris dalam sebuah acara yang dirangkai dalam acara tersebut.

Helarfest: Kampung Festival Tamansari, tajuk dari acara tersebut, merupakan sebuah rangkaian proses yang mencoba merespon masalah2 urban yang tampak pada wilayah-wilayah pemukiman padat penduduk yang lebih akrab disebut kampung, akan ditutup pada tanggal 22 September tahun ini. Untuk ulasan berikutnya mungkin akan dijelaskan pada postingan-postingan berikutnya.

Tentang manusia (1) – Instinctual Drive

Entah, beakangan ini saya mulai merasa gelisah dengan eksistensi saya sebagai manusia, seringkali bersyukur, dan kadang-kadang mengumpat.karena sifat manusia yang terlanjur saya dapat sebagai warisan umat manusia. Memahami manusia itu amat membingungkan, sangat membingungkan, dari skala terkecil dari individu, interaksi sosial, hingga peradaban. Pembahasan mengenai manusia tentu saja akan amat sangat meluas kesana kemari, namun ada baiknya mungkin saya batasi oleh bingkai-bingkai tertentu.

Baik, kali  ini saya akan membatasi bahasan tersebut dengan Instinctual Drive, atau dorongan naluri, atau kehendak buta, atau terakhir warisan sifat-sifat binatang yang terdapat dalam diri manusia. Mungkin kalian pernah mendengar Schopenhauer dengan kehendak butanya, beliau dengan berani menyimpulkan bahwa apapun yang dilakukan manusia, selalu didahului oleh dorongan kebinatangan mereka. Beberapa kajian menunjukkan bahwasannya binatang, hanya memnuhi tiga kebutuhan dasar mereka yang biasanya ditujukan untuk mampu bertahan hidup, yakni makan, minum, dan dorongan untuk mempertahnkan spesies yang didahului hubungan seksual. Tulisan ini mungkin seakan menyatakan keberpihakan saya akan pemikiran Schopenhauer, terkesan agak sedikit merendahkan manusia barangkali ya, namun belakangan saya merasa dan melihat bahwa pemikiran tersebut amat logis dan tidak terlalu mengada-ada.

Oke, bagi saya, setinggi dan sehalus apapun perbuatan dan perlakuan manusia, tetap saja akan didahului oleh apa yang sebelumnya saya sebut sebagai dorongan naluri. Tidak, ini bukan merendahkan, bukan. Hanya saja saya menyadari hal ini kemudian membuat saya mampu lebih jauh memahami siapa diri saya dan siapa manusia. Apapun yang kita lakukan, bahkan yang amat halus.

Pernyataan setuju akan kehendak buta manusia ini mungkin terbersit dari beberapa tingkah laku manusia yang saya rasa memnag cenderung mengiyakan hal tersebut. Sebut saja, di jalan, ketika ada seorang perempuan, maaf, wanita, sedikit berdandan dan dengan santainya mengendarai motor tentu saja dapat menarik peratian mata-mata pria, bahkan saya pun pada awalnya sering tertipu hal tersebut, secara tidak sadar, secara naluriah. Contoh lain, entah wanita cantik bagi saya boleh jadi mendapat kesempatan-kesempatan yang lebih baik ketimbang wanita dengan (maaf) paras seadanya. Teman saya sendiri mengiyakan hal tersebut, dia menyadari dirinya cantik, dan sering mendapat kesempatan-kesempatan lebih ketimbang teman-temannya. Hal ini bagi saya didasari oleh sifat dasar pria yang secara naluriah akan memilih wanita ideal untuk mempertahankan keturunannya. Agak jauh memang analogi tersebut. Tapi bisa saja kan? Anggap saja pria bernaluti untuk melanjutkan keturunan, dan alangkah baiknya jika ‘media’-nya termasuk ideal, dan anggaplah guna meraih kesempatan tersebut, pria selaku penyedia kesempatan (biasanya), akan memberikan kesempatan-kesempatan tertentu pada beberapa wanita ideal. Tentu masih banyak contoh yang sekiranya malas saya sebutkan.

Menarik ya, sangat, bagaimana dorongan naluri mampu menjadi biang keladi dari tindak tanduk manusia. Tak kurang menarik dari manusia itu sendiri.

9 Juli 2012

Halo, selamat malam.

Mungkin agaknya membosankan ya postingan-postingan sebelumnya, alah lupakan, memang sebagian beberapa tulisan saya yang saya tujukan untuk keperluan akademis. Beberapa hari belakangna saya rasa mungkin dapat menjadi menarik jika saya mencoba untuk posting keseharian saya atau kalian yang sekiranya biasa saja, namun dengan sedikit interpretasi lebih mungkin itu semua bisa menjadi sebuah tulisan menarik.

Oke kalian, siapapun yang membaca dan entah ada yang pernah membaca atau tidak, selamat menikmati,

 

Sejarah Perkembangan Seni Grafis Indonesia

PENDAHULUAN

Seni Grafis, sama seperti cabang seni rupa lainnya, adalah secara sadar menggunakan keterampilan dan imajinasi kreatif untuk menciptakan objek-objek estetik. Ditinjau dari etimologi kata, seni grafis diterjemahkan dari kata printmaking yang berasal dari bahsa inggris. Seni grafis mencakup beberapa teknik yang terus berkembang seiring perkembangan jaman dan kemajuan teknologi. Teknik grafis secara garis besar dapat dikategorikan menjadi empat teknik utama, yakni, cetak datar, cetak tinggi (relief), cetak saring (serigrafi), dan cetak dalam (intaglio). Karena pada prinsipnya seni grafis selalu mengikuti perkembangan teknologi cetak, dewasa ini teknik cetak mutakhir seperti digital print, chemical print, dan beberapa teknik lainnya kemudian diterima sebagai karya grafis oleh medan sosial seni.

Seni grafis adalah cabang seni yang memberikan banyak ruang eksploratif yang dapat dimanfaatkan seniman untuk mencapai sebuah pencapaian estetik tertentu yang memliki karakter yang khas. Kematangan sebuah karya seni (grafis) dapat dinilai dari kualitas eksplorasi teknis sang seniman dan ide yang ditampakkan. Penjelajahan kedua aspek tersebut kemudian menjadi lebur dan tertuang dalam sebuah karya grafis. Sebagai contoh, cetakan ukiyo-e 36 Pemandangan Gunung Fuji oleh Hokussai, yang dikerjakan pada tahun 1823 – 1831, menggambarkan sebuah karya grafis penuh yang sampai sekarang masih diperhitungkan eksistensinya. Karya series ini masih dianggap sebagai sebuah adikarya yang memperlihatkan kematangan penjelejahan ide dan teknis, juga kualitas kontemplasi dari sang seniman yang dengan konsisten mengeram karya ini, dengan pendekatan historis budaya pada masanya tentunya.

Karena kemampuannya dalam menduplikasi diri, karya-karya seni grafis di dunia mampu menjangkau beberapa lapisan masyarakat. tidak melulu terbatas  pada kalangan elite. Meskipun penghargaan (sercara benar-benar harafiah) oleh pasar pada karya-karya grafis tidak semahal lukisan atau patung, karya grafis diharapkan mampu mencapai beberapa lapisan masyarakat dan menjalankan beberapa fungsi seni, seperti seni sebagai penyadaran, dll, sehingga eksistensi seni diharapkan mampu menunjukan signifikasinya, degan konsekuensi yang telah saya sebutkan sebelumnya.

Proses cetak yang menjadi prinsip utama dalam seni grafis ditujukan untuk reduplikasi karya, dengan ‘itikad baik’ seperti yang telah diulas pada paragraph sebeumnya, menghadirkan problematika dilematis yang cukup signifikan dalam perkembangan karya-karya grafis. Yang kemudian dapat dikelompokkan kepada dua masalah utama, yakni proses cetak yang amat teknis dan mendatangkan banyak kerumitan di dalamnya, dan justifikasi pasar pada karya seni grafis.

Teknik cetak grafis yang dikelompokkan dalam 4 proses cetak (cetak datar, tinggi, dalam, dan saring) mememerlukan bantuan banyak alat dan mesin, sehingga dalam proses pembuatannya, seniman dituntut untuk memilki kemampuan teknis yang baik dan mendalam, atau uniknya meminta bantuan pada pihak yang mendalami teknis grafis dengan konsisten. Secara garis besar proses pembuatan karya grafis dibedakan menjadi dua, proses pembuatan matriks dan proses pencetakkan karya, yang di dalamnya terdapat rangkaian proses yang saling berkesinambungan bagaikan sebuah untaian rantai yang saling mempengaruhi satu sama lain seara berkesinambungan. Karena kerumitannya, proses pembuatan karya grafis dapat dinilai memrlukan effort lebih dibandingkan dengan membuat karya lukisan, sehingga seringkali menyulitkan seniman untuk berkarya grafis. Selain itu, karena jumlahnya yang banyak, dan tidak tunggal, eksistensi karya grafis di pasar tidaklah sesignifikan karya lukisan yang sifatnya tunggal yang kemudian membawa nilai eksklusifitas di dalamnya, karena pasar dikuasai oleh kaum elite yang tentunya menggemari dan memburu eksklusifitas, demi menjaga pestise dari karya itu sendiri. Para pelaku pasar seringkali lupa bahwa pada praktiknya karya grafis memang diperuntukkan untuk dimiliki oleh beberapa pihak, bukan dikoleksi secara pribadi. Sehingga pasar sering meniai karya grafis sebagai ‘seni kelas dua’. Kekurang-tertarikannya pasar pada karya seni grafis sedikit banyak membuat  eksistensi karya ini semakin lama semakin lemah, bahkan di beberapa daerah yang iklim medan sosial seninya tidak sehat, hampir tidak diperhitungkan lagi. Serangkaian masalah tadi kemudian mampu dianggap sebagai masalah-masalah utama yang menyebabkan perkembangan seni grafis yang lesu.

Di Indonesia, seni grafis bahkan mendapat perlakuan yang lebih tidak kondusif lagi, selain amat sangat terbatasnya media-media pendukung pembuatan karya seni grafis, pasar yang amat mendominasi medan sosial seni, kerancuan penggunaan istilah grafis yang berdampak pada publikasi teknik-teknik grafis konvensional yang membingungkan kerap kali makin makin membuat seni grafis makin tidak dirasakan eksistensi dan peranannya dalam seni rupa Indonesia. Penggunaan istilah grafis di Indonesia dalam kesehariannya seringkali membingungkan. Karena kata grafis di Indonesia seringkali berkaitan dengan objek-objek grafis yang lekat dengan displin desain grafis, sehingga penggunaan istilah seni grafis seringkali disalahartikan. Hal ini berkesan sepele, namun pada perkembangannya, keancuan ini seringkali menjadi masalah yang kemudian mendapatkan signifikasi yang cukup besar di kalangan awam.

SENI GRAFIS DI INDONESIA

Seni grafis, bersamaan dengan cabang seni lainnya, hadir di Indonesia berkat digalakannya kolonilaisasi. Pada masa pendudukan Belanda, pemerintahannya pernah menunjuk beberapa seniman untuk melakukan studi landscape di Indonesia guna merekam eksotisme negara ini yang kemudian dituangkan dalam karya lukisan yang berkesan romantis dan beberapa teknk cetak seperti wood engraving dan lithography. Karena memang pada masa ini seni rupa Barat sedang merayakan romantisme yang kajian visualnya seringkali ditujukan pada landscape dan peristiwa heroik, yang dikenal dengan istilah ‘mooi indie’, atau hindia yang cantik. Berangkat darinyalah seni grafis mulai diperkenakan secara tidak langsung kepada rakyat Indonesia. penguasaan teknik cetak pun bukan dari khazanah akademi, namun sebatas dari obrolan dan interaksi dengan orang asing.

Sampai sekitar tahun 2000-an, seni grafis masih dianggap seni kelas dua, dan seni pinggiran, problematika ini lahir dari berbagai macam aspek yang saling menagkumulasi satu sama lain. Seperti yang telah saya ungkap seelumnya, seni grafis amatlah bergantung pada proses yang bersifat amat teknis. Keterbatasan dan kelangkaan alat dan mesin cetaklah yang dikambinghitamkan oleh para seniman grafis yang dengan terpaksa mesti ‘melacur’ ke cabang seni lainnya, atau bahkan menggeluti bidang yang amat jauh dari kajian seni grafis. Keptusasaan ini memang bukanlah tanpa sebab, minimnya mesin dan alat-alat pendukung dalam membuat sebuah karya grafis seringkali meredam hasrat berkarya dan memuaskan keinginan bereksplorasi para seniman grafis. Krisis ini pun bahkan dialami oleh institusi akademi  seni di Indonesia. Tercatat bahwa hanya Institut Teknologi Bandung yang mampu menyediakan mesin cetak dan alat-alat pendukung untuk teknik cetak tinggi, cetak rendah, cetak datar, dan cetak saring yang dianggap memadai, bahkan dengan catatan bahwa sarana yang diberikan adalah standar ‘mahasiswa’, yang berkesan seadanya dan kuran terawat. Minimnya mesin cetak yang tersedia di Indonesia memang disebabkan oleh mahalnya biaya pengadaan mesin dan kelangkaan akses dalam meraihnya. Bahkan beberapa alat dan bahan pendukung pun seringkali harus didatangkan langsung dari Jerman, negri dimana seni grafis lahir dan berkembang.

Problematika diatas pun didukung oleh pernyataan beberapa pihak yang meneliti sejarah perkembangan seni grafis. Seni grafis dari awal perkembangannya hanyalah dianggap sebagai pendamping karya-karya lukisan dan patung, dan juga sebagai proses berkarya sampingan yang dilakukan seniman yang seyogyanga mendalami cabang seni yang lebih ‘tulen’, seperti seni lukis dan seni patung. Seni grafis pada awalnya sebatas ‘numpang’ muncul di pameran seni bersanding karya lukisan dan patung. Meskipun demikian, seni grafis pernah dianggap sebagai cabagn seni yang ikut berjasa bagi kehidupan kenegaraan Indonesia, dengan mengirim karya-karya grafis ke luar negri pada peryaan tahun pertama kemerdekaan Indonesia, 1946, sebagai upaya memeberi kesan bahwa Indonesia adalah negara yang berbudaya, meski baru satu tahun merdeka. Perkembangan seni grafis pada awal kemerdekaan Indonesia dinilai sebagai tenggat waktu eksplorasi para seniman untuk mendalami dan menyerap ilmu mengani teknik cetak grafis. Nampak pada beberapa karya grafis Mochtar Apin, Sudjana Kerton, dan Poppo Iskandar yang menekuni studi visual menggunakan teknik cetak, baik dalam pendekatan naturalis maupun abstraksi yang merebak luas di dunia

Barulah pada tahun 1970-1980, seni grafis mulai muncul ke permukaan dengan hadir pada pameran seni grafis yang mandiri. Seperti pada pameran ‘Seni Grafis Bandung’ yang menampilkan karya-karya Mochtar Apin, Haryadi Suadi, A.D. Pirous, dan Kaboel Soeadi, yang dipamerkan di tiga kota, yakni Bandung, Surabaya, dan Jakarta. Dua tahun setelahnya, lahirlah kelompok grafis Decenta yang beranggotakan Pirous, Sunaryo, Sutanto, G. Siddharta, Priyanto, dan Dudi Kusnidar yang mendalami teknik serigrafi yang kala itu sedang berkembang didukung laju perkembangan industri garmen. Beberapa anggota kelompok ini kemudianmulai menggeluti desain grafis karena kecenderungan karya sablon yang mampu dicetak dan direproduksi dalam kaos mulai digemari masyarakat. beberapa darinya seara professional menjadi desainer grafis dan kemudian mengembangkan akademi desain grafis di Indonesia.

Menjelang akhir 1990-an, konsepsi baru seni global yang diberi tajuk postmodernisme yang digalakan sampai sekarang ini membawa arus perubahan dan kebaruan yang radikal dan kritis pada seni rupa Indonesia, tidak terlepas seni grafis. Penyampaian idea yang dimiliki seiman pada karya dituangkan pada

media dan material yang dianggap tidak lazim pada masanya. Seperti lahirnya performance art, instalasi, dan media lainnya yang unik dan mengundang kontroversi. Seperti pada Bienalle IX Jogja yang sebagian besar karyanya merayakan kehadiran potmodernisme dengan menjatuhkan pilihan pada instalasi. Meskipun begitu, seniman grafis tetap mencoba memadukan teknik grafis dengan media asing yang dinamai instalasi, sepreti yang dilakukan Marida Nasution pada pameran ‘Taman Plastik’, Tisna Sanjaya dengan instalasinya yang berjudul ‘Seni Grafis dan Sepakbola’, dan beberapa seniman lainnya yang mencoba tetap menyisipkan corak seni grafis yang membentuk proses penciptaan karyanya bersanding dengan arus deras kritisisme postmodernisme.

Lebih jauh lagi, eksplorasi media seni grafis kian berkembang didukung oleh laju perkembangan teknologi yang kian pesat juga. Teknologi-teknologi grafis mutakhir pun seperti c-print, digital print, dll mulai dipertanyakan konvensinya. Beberapa pihak mencoba untuk mengamini hal tersebut, namun banayak pihak yang ‘keukeuh’ menyuarakan seni grafis konvensional lebih bernilai daripada seni grafis dengan media cetak mutakhir, dengan anggapan terlalu mudahanya reproduksi yang ditawarkan media cetak baru yang disokong teknologi sehingga dianggap makin menjauhkan dan membei jarak seniman dari karyanya. Namun kalangan postmodernisme yang ekletis beranggapan bahwa penciptaan karya seni tidak lagi dibatasi pada konvensinya, namun sejauh apa seniman mampu mempertanggung jawabkan pemilihan penuangan ide karya pada jenis media.

Selain perkembangan historikal di atas, hal menarik yang terlihat pada perkembangan seni grafis Indonesia juga tampak pada dialog Jogja-Bandung yang selalu hangat dibicarakan sampai saat ini, seperit pada seni lukis, seni grafis pun mulai menampakkan kecenderungan karya yang berbeda antar seniman Jogja dan Bandung. Secara umum, dari masa Sudjojono, bapak seni lukis modern Indonesia, kecenderungan mazhab kedua kota ini memang berbeda, Jogja yang lekat dengan kaitan seni dengan kehidupan sosial kemasyarakatan dan Bandung dengan perayaan modernism pada karyanya. Pun pada akademi seni yang dikembangkan oleh kedua kelompok seniman yang telah memiliki perbadaan visi ini, Sekolah Guru Gambar yang kemudian menjadi ITB, dan ASRI yang kemudian menjadi ISI Jogja. Perbedaan visi yang diturunkan para pendir akademi ini kemudian berkembang dan kian mengerucut, sehingga kedua kecenderungan ini ramai dibicarakan. Khususnya pada seni grafis, kecenderungan penggunaan media pun mulai terlihat, hal ini boleh jadi disebabkan oleh ketersediaan mesin cetak dan alat pendukung lainnya dalam berkarya seni grafis. ITB, dikenal sebgai institusi yang memiliki mesin terlengkap di Indonesia melahirkan seniman yang diberi kesempatan lebih untuk mengeksplorasi teknik grafis, sementara di Jogja, kelangkaan mesin cetak datar dan kurang fungsionalnya mesin cetak dalam kemdian megantarkan senimannya untuk amat menggeluti teknik cetak tinggi. Serigrafi, kemudian menjadi media yang diminati kedua polar ini, karena kemudahan dalam pengayaan media pendukungnya, namun tetap memiliki kecenderungan yang berbeda dalam penyajian karyanya. Keterbatasan mesin ini kemudian tidak dikeluhkan para penggrafis Jogja, mereka dengan giarnya menggeluti cukil kayu hingga mencapai penguasaan teknis yang dapat dinilai amat baik. sementara di bandung, tradisi kesadaran media menjadi hal yang sering dipertanyakan pada senimannya, karena keleluasaan dalam pemilihan teknik cetak yang digunakan.

Seni grafis kontemporer Indonesia adalah cabang seni yang dinilai amat kaya, baik secara visual mauoun ide yang diutuangkan senimannya. proses berkarya grafis kemudian mempengaruhi kecenderungan berkarya para senimannya kemudian melahirkan seniman yang memiliki pola kerja yang teratur dan pemikiran yang terstruktur. Perkembangan seni grafis kontemporer Indonesia kiranya dinilai amat berkembang dengan baik, eskplorasi teknis diaplikasikan pada media yang dianggap kurang lazim dalam penyajian karya grafis. Dari kertas, kanvas, kayu, bahkan akrilik. Perayaan teknologi pun memberikan banyak opsi yang sangat banyak bagi seniman grafis untuk berkarya. Bahkan lebih jauh lagi, pereneungan kontemplatif seniman kemudian melahirkan penyajian karya yang menggunakan teknik cetak secara filosofis.

Dapat disimpulkan dari sedikit uraian diatas bahwa seni grafis Indonesia bukanlah cabang seni yang murahan, pinggiran, dan kelas dua, namun dapat dipandang sebagai cabang seni yang melahirkan seniman yang memiliki kekhasan baik dalam pemikiran maupun kekaryaanya. Mampu menunujukan eksistensinya dalam memperkarya seni rupa Indonesia.

Seni Menjejak Sejarah

Segerombolan massa Jerman TImur nampak berlarian menuju Brandenburg Gate tepat setelah hujan berhenti di kawasan tersebut yang ditandakan dengan hadirnya payung di tangan seseorang yang berada di kiri agak ke tengah atas dari karya dengan antusias, massa terdiri dari beragam usia dan gender, pria wanita, tua muda, diikat dengan optimisme berlari menuju gerbang pemisah Jerman Barat dan TImur. Sebuah potret realisme sosial masyarakat Jerman ketika anggota politbiro SED Guntër Schabowski membenarkan dengan ragu-ragu dan tergagap bahwa perlintasan perbatasan diperbolehkan. lantas tembok Berlin sebagai penanda demarkasi dua ideologi politis Jerman Barat yang demokratis dan TImur dengan fasismenya yang sebelumnya dijaga dengan sangat ketat kemudian dibuka untuk umum tanpa prosedur yang jelas.. Karya ditampilkan dalam sajian fotografi dengan tone black and white (hitam putih), tercatat bahwa potret ini diambil tanggal 22 Desember 1989 oleh Harald Hauslad.

Dalam karya fotografi tersebut, Brandenburg Gate yang berada hampir tepat di tengah horizon terlihat diburu oleh masyarakat Jerman Timur yang terperangkap dalam politik fasis kemudian hendak berpindah ke Jerman Barat yang demokratis. Suasana riuh bersama euphorianya tampak dari gesture masyarakat yang berlalu-lalang pernuh optimisme berlomba-lomba berlarian menuju gerbang yang menjanjikan pembebasan dan penyatuan kembali Jerman. Dalam latar di belakang karya fotografi ini terdapat landscape yang terdiri dari Gerbang Brandenburg yang bergaya klasik Dorian dari bahan marmer dan beton, dua tiang lampu menjulang tinggi melebihi tinggi gerbang, dan sederet peohonan yang mengarah keluar dari gerbang sebagai pusatnya. Aspal jalan yang basah dan becek serta langit yang tertutup awan membangun suasana sehabis hujan dalam karya, karena setting waktu diambil sehabis hujan, maka cahaya yang tertangkap di kamera terlihat agak gelap dan tidak menunjukan adanya kontras yang tinggi, aspal basah memantulkan refleksi massa yang berlarian. Di belakang karya terlihat hadirnya sebuah lengan dari alat berat yang nantinya digunakan untuk penghancuran tembok Berlin, sebagai pertanda menyatunya kembali dua bagian negara yang sempat terpisah ini.

Potret realism sosial diatas merupakan penanda sejarah yang memiliki signifikasi yang cukup kuat terhadap dunia. Terbukti dengan cukup signifikannya pengaruh dari bersatunya kembali dua bagian Jerman ini dalam bidang politik, ekonomi, dan ideologi setelah tingginya perhatian yang diberikan dunia pada fenomena demarkasi ideologis dari negara Jerman pada masa tersebut. Karya fotografi adalah medium yang paling tepat untuk merepresentasikan studi-stuid visual mengenai situasi penyatuan Jerman ini, karena fotografi dengan sendirinya merekam dengan akurat situasi dan moment  dan mempatrinya dalam film yang natinya dicetak.

Seni sebagai penjejak sejarah bolehjadi ‘dilegalkan’ oleh estetika post-modern, menimbang seni yang tidak lagi otonom, namun juga berkontribusi kepada masyarakat, dan mulai menyinggung politik dan pemerintahan. Namun, akan timbul pertanyaan apakah ‘seniman’ penjejak sejarah yang seorang fotografer memiliki intensi untuk menjadikan karyanya sebagai sebuah karya seni?  Meskipun penentuan karya seni tidak sepenuhnya mengacu pada intensi author-nya, pertanggung jawaban karya sedikit banyak memerlukan campur tangan sang author, atau kepada kurator yang telah memutuskan karya ini layak untuk dipamerkan dengan label seni di sebuah galeri. Mengacu pada rumusan Fredric Jameson, karya ini diprediksi menggunakan idiom pastiche, yakni peminjaman sejarah tanpa muatan kritik terhadap teks yang dipinjamnya (karena teks penyatuan Berlin cukup banyak mengandung muatan kritik). Namun menariknya, idiom pastiche justru melawan sejarah karena memutarbalikkan waktu, dan tendensi dari pameran ini adalah seni penjejak sejarah, sebuah paradoks.

Karya fotografi ini dipamerkan dalam sebuah pameran yang bertajuk ‘Adegan dan Jejak Sebuah Peristiwa’ di Galeri Soemardja, Bandung, pada tanggal 1-14 Desember 2011, buah kerjasama dari Galeri Soemardja dengan Goethe Institute, kerjasama yang difasilitasi oleh kerjasama bilateral antara Institut Teknologi Bandung, sebagai ruang akademis yang melingkupi Galeri Soemardja, dengan Goethe Institute, Germany.

Tercatat bahwa sebelumnya Galeri Soemardja pernah menggelar pameran yang sedikit dipertanyakan ‘muatan seni’ dalam karyanya, yakni buah kerja sama galeri ini denga Greenpeace Organization yang memaparkan realism sosial masyarakat Chernobyl setelah tragedy nuklir yang terjadi di tempat tersebut beberapa dekade silam. Beberapa pihak mungkin bertanya-tanya, mengenai pertanggung jawaban karya yang ‘seperti ini’, namun merujuk pada fluidnya seni rupa kontemporer yang mengacu pada pemikiran-pemikiran post-modern, dapat disimpulkan bahwa kecenderungan seni yang mengimplementasikan muatan sosial dalam karyanya adalah hal yang diperbolehkan, justru jika dilihat dari sisi pragmatis, seni dengan kecenderungan tersebut akan lebih mudah diterima masyarakat awam yang ‘tidak melek seni’. Kegamangan yang terjadi di beberapa pelaku seni yang memiliki prespektif tersebut boleh jadi karena ketidakfamiliaran seni yang menampilkan realitas sosial melalui medium fotografi dan absennya atau kurang signifikannya peran museum sebagai sumber sejarah di Indonesia.

Sebuah Persinggahan untuk Keberlangsungan

Jum’at, 4 November 2011, digelar sebuah pameran bertajuk “Transit#1 – unload/reload” yang menampilkan rangkaian karya dari 3 seniman yakni Gatot Pujiarto, Made Wiguna Valasara, dan Rudayat. berlangsung di Selasar Sunaryo Art Space selama 3 minggu, yakni antara 4 November 2011 sampai 25 November 2011. Pameran ini merupakan sebuah rangkaian acara dari progtam Transit#1, salah satu program residensi seniman yang difasilitasi oleh Selasar Sunaryo Art Space yang dibuka mulai tahun ini. Pameran ini dikurasi oleh Hendro Wiyanto dan Agung Hujatnikajenong. Pada rangaian acara pembukaannya, terdapat sebuah performance akustik dari anak asuhan Rumah Seni Hary Roesly dan sebuah pidato mirip stand-up comedy yang dipentaskan oleh Wawan, yang sedikit banyak disellipi oleh kritik-ktitik satir terhadap dunia seni rupa Indonesia, seperti fenomena mencuatnya seniman muda yang dikenal dengan istilah ‘penggorengan seniman’ yang dianalaogikan dengan acara masak memasak dari Farah Quinn, dan kritisi akan dominiasi Tionghoa yang menjadi kolektor pada medan sosial seni rupa Indonesia. Artist Talk diadakan keesokan harinya jam 3 sore di tempat yang sama sebagai pelengkap dari rangkaian acara Transit#1 ini.

(Gambar1: Suasana Pembukaan Pameran Transit#1:SSAS)

Pameran ini menampilkan sejumlah karya dari Gatot, Valasara, dan Rudayat yang dikerjakan selama program Transit#1 ini berlangsung. Gatot dengan eksplorasinya menggunakan kain perca sisa, Valasara dengan ketidakpuasannya dengan bidang datar kanvas yang kemudian dieksplornya, dan Rudayat dengan lukisannya yang menampilkan citra yang akrab dengan masuyarakat urban mencakupi graffiti dan citra familiar lainnya yang biasa tampil di dinding perkotaan.. Karya-karya Gatot yang mensubitusi cat dengan kain perca sisa kemudian lebih menekankan karyanya sebagai luksian ketimbang seni serat. Sedangkan Valsara berujar bahwa dirinya lebih menekankan bahwa kanvas itu sendiri sebagai objek, bukan sekedar media, mengahsilkan makna berlapis dari medium kanvas datar yang biasa apresiator lihat, biarpun kanvasnya hanya berbalut putih. Sedangkan Rudayat, lebih berkonsentrasi dengan menggrafiti lukisannya, dengan medium yang didominasi lukisan dan dipadeu dengan media lainnya, selain lukisan dan mixed media, beliau pun mencoba semakin menegaskan jarak antara lukisan dan graffiti dengan media video art sebagai outputnya.

Pada kurasinya, baik Hendro Wiyanto maupun Agung Hujatnikajenong, mencoba untuk mengupas lapis lapis ide yang ditawarkan oleh senimannya. Kedua kurator ini melihat proses berkarya para residen dengan sudut pandangnya masing-masing. Hendry secara filosofis mengantarkan pembaca dalam kurasinya dengan menggunakan pendekatan antropologis (atau Cultural Studies, pendekatan yang lebih kontemporer) dari James Clifford pada awal tulisannya, sedang Agung lebih menggunkan pendekatan yang pragmatis dan dokumentatif dalam menjelaskan proses kekaryaan para residen. Hendry mengungkap bahwa makna karya Gatot yang menggunkan kain perca menimbulkan pertanyaan bahwa apakah nilai guna ditentukan oleh sisa?,

 

(Gambar2: Salah satu karya “lukisan kain” dari Gatot)

beliau pun menjelaskan nilai fleksibiitas dan berujar mengenai medium informal Gatot, yakni kain perca sisa yang dianggap menggantikan cat dalam medium lukisan, sebuah wacana baru yang menarik, sedangkan Agung melihat Gatot dari segi kecenderungan intuisi Gatot yang mengendarai proses berkaryanya, beliau menjelaskan Gatot yang semula membatasi intuisinya dengan bentuk representative kemudian semakin membebaskan kerja intuitifnya dengan melepaskan bentuk representative tersebut menjadi abstrak yang beigut bebas dan luwes Karya Valasra, menurut Hendry adaah sebuah pertanyaan kritis mengenai medium kanvas itu sendiri sebagai objek, bukan hanya sebgai medium. Pemaknan yang lebih jauh menggiring kita pada permasalahan subject-object. Ketika kanvas dianggap sebagai objek, apakah kita benar berkuasa akan dirinyayang rela menuruti kemauan senimannya. ataupun sebaliknya, kanvas yang datar dan putih seakan menggiring seniman sebagai objeknya untuk merealisasikan identitias luksian itu sendiri ketika mediuam ini terikat denagn sejarah panjang seni rupa modern yang rigid dan kaku.

 

(Gambar3: Medium kanvas yang dimaknai oleh Valasara sebagai objek, bukan medium)

Agung, mengulas karya Valasara berdasarkan prosesnya, beliau menuliskan perjalanan Valsara dan apa yang melatarbelakangi Valasara sehingga kemudian mengahasilkan lukisan sebagai obek, bukan hanya medium, dengan permainan lekukan-lekukan relief pada media kanvas yang dibalur dengan warna putih polos, seakan menyucikan lukisan itu sendiri dari derasnya doktrin estetika. Terakhir, karya Rudayat dalam kurasi Hendry, seakan mencoba untuk mengungkap realitas kehidupan dari berjalannya masyarakat urban cosmopolitan yang diamati Rudayat, Rudayat menurutnya mempertanyakan kesementaraan realitas yang terungkap dalam tumpangtindihnya poster-poster yang ada di dinding-dinding kota yang merekamnya, ditungkan dalam medium lukisan yang ditindih dengan stencil, atau media lainnya yang  wajar dijumpai di dinding kota.

 

(Gambar4: Salah satu kesementaraan realitas menurut Rudayat dalam karyanya)

Agung kembai melihat proses kekaryaan Rudayat dengan Pragmatis, yakni bekenaan dengan perkembangan Rudayat yang mulai mempertanyakan diskurus seni lukis yang digunakannya, sedangkan sebelumnya beliau hanya digelisahkan oleh permasalahan representasional karyanya. Agung pun mengaskan bahwa Rudayat mulai encoba melaburkan dan mempertanyakan tradisi seni tinggi dan seni rendah, dalam konteks ini, lukisan dan street art. Salah satu penegasan Rudayat tersemat dalam karya video artnya yang semakin mengambangkan street art berupa stencil dan graffiti dengan latar belakang lukisan yang ditampilkan dalam video art.

Pada prosesnya, pameran yang dinaungi oleh program residensi Transit#1 dari SSAS ini menjalani sebuah proses interaksi anatara seniman, kurator, publik (difasilitasi oleh open studio pada hari tertentu), dan penggagas program secara intensif dan terstruktur, sebagai sebuah repson akan sistem kerja pameran seni rupa kontemporer Indonesia yang biasanya hanya tertuju pada hasil akhir karya, bukan pada proses kemenjadiannya. Program transit ini diawali dengan penyeleksian calon residen yang didiskusikan oleh para penanggung jawab program, kemudian calon residen didatangkan ke Selasar dan lantas mempresentasikan portofolionya. Interaksi pertama antara residen dan mentor (diksi mentor seringkali disangkal para residen dan memilih ‘teman ngobrol’ sebagai penggantinya) pun berdampak hebat pada psikologis residen yang merasa karyanya masih mentah, seperti ucap Valasara pada opening pameran yang mengaku kesal ketika presentasi portofolionya diuji dengan amat kritis oleh para mentor. Namun seiring berjalannya waktu, para residen pun semakin terpacu untuk membuat karya seni yang matang justru dengan diskusi dan interaksi intensif dengan para mentor yang sangat kritis. Mentor program ini pun adalah professional yang esksitensinya diperhitungkan dalam medan sosial seni rupa Indonesia, yakni, Hendro Wiyanto, Agung Hujatnikajenong, dan Sunaryo. Residen pun sempat berdiskusi dengan para pelaku seni rupa Indonesia lainnya, seperti Asmudjo Jono Irianto, Aminuddin T. H. Siregar, Jim Supangkat, Eddy Hartanto, dan beberapa tokoh lainnya.

 

(Gambar5: Sedikit diskusi ditengah acara pembukaan antara Hendry dan para residen)

Hal menarik yang bisa ditarik dari gejala ini adalah adanya indikasi bahwa kesadaran konteks maupun media dari para residen yang dalam CVnya menegaskan bahwa mereka lahir dari perguruan tinggi non-ITB masihlah minim, terbukti dengan kegagapan mereka ketika dihadapakan dengan para mentor yang berasal dari kalangan akademisi ITB, sebagai institusi akademi seni yang paling mumpuni. Sebuah pertanyaan dapat ditarik, yakni perlukah ekivalensi kurikulum program pengajaran akademi seni rupa di tingkat sarjana pada perguruan tinggi seni di negri ini?

Program ini pun membantu dan memafasilitasi seniman-seniman muda berbakat untuk menunjukkan eksistensinya dalam dunia seni rupa. Terlebih bahwa profesi kesenimanan tidak ditunjang dengan sarana dan prasarana yang jelas, sehingga pada akhirnya menimbulkan kegamangan bagi para lulusan baru dari perguruan tinggi seni untuk berkiprah di dunia seni rupa. Pembahasan lebih lanjut menegaskan bahwa terjadi pembengkakan lulusan seniman yang berasal dari perguruan tinggi seni, tidak ditunjang dengan lulusan pelaku medan sosial seni lainnya terutama kurator, kritikus, penulis, art management, art dealer, dll. Struktur kurikulum di ITB pun dipadatkan sehingga lulusannya yang difokuskan menjadi seniman atau peneliti seni bisa saja menjadi kurator, art manager, dll. Hal ini meimbulkan tumpang tindih antara kerja professional dan amatir dalam medan sosial seni rupa, seperti ujar Sanento Yuliman pada buku Dua Seni Rupa, lantas validitas dan keabsahan iklim keberlangsungan seni rupa Indonesia pun kembali dipertanyakan.

Pameran Transit#1 ini dinilai cukup menarik menimbang bahwa pameran ini cukup merespon medan seni rupa, tidak hanya berkecimpung dalam program pameran seniman-seniman besar yang bisa jadi bermotif ekonomis dan realistis. Namun bertujuan memfasilitasi jalur publisistas seniman muda yang seringkali terjebak dalam kegamangan profesi kesenimanannya itu sendiri.  Pameran transit ini pun seakan membuka sebuah wacana dan perenungan baru berkenaan dengan iklim dan medan sosial seni rupa seara menyeluruh. Seni postmodern yang telanjur terpranatakan mau tidak mau menyiratkan standar baru yang mengahurskan sebuah negara memiliki institusi seni yang baik yang terbayarkan dengan suasana kondusif iklim berkeseniannya. Sementara di Indonesia, berkeseninan mungkin saja belum cukup kondusif untuk berkembang, karena isntitusi seni itu sendiri dianggap memiliki beberapa anomaly. Sebut saja ketiadaan museum yang menjadikan dominasi pasar yang merajalela, dan ketidakjelasan sarana dan prasarana seni seperti art management, art dealer, dan mungkin kurator yang cukup baik dilatarbelakangi pengenyaman standar-standar akademi yang dilaluinya seakan semakin merancukan keberlangsungan dunia seni rupa Indonsia. Semoga saja pameran ini memicu lahirnya program residensi-residensi lainnya dan kemudian berlanjut ke perbakan substansi institusi seni lainnya sehingga menunjang keberlangsungan seni rupa Indonesia kearah yang lebih baik.

AMBIGUITAS KOLASE BELING DEKONSTRUKSI TANDA YANG MANIS (Review Pameran Budi ADi Nugroho, Galeri Soemardja, ITB, Bandung)

Sabtu, 15 Oktober 2011, digelar sebuah pameran tunggal Budi Adi Nugroho, “Toys with Semionaut Soup” yang merupakan buah kerjasama dari Galeri Soemardja dan d Gallerie yang akan berlangsung di Galeri Soemardja selama 3 minggu, yakni antara 15 Oktober 2011 sampai 4 November 2011. Pameran yang dikurasi oleh Aminudin T. H. Siregar kali ini mengangkat ikon-ikon popular yang sudah amat akrab dengan publik, menampilkan sekitar 10 karya instalasi yang tersebar di dinding dan ruangan galeri. Pameran ini pun mendapat kritik yang ditulis oleh Adi Wicaksono yang tercantum pada katalog pameran tersebut. Sebuah format katalog yang unik dalam seni rupa kontemporer Indonesia ditengah tenggelamnya eksistensi kritikus seni pada substasi medan sosialnya.

(Gambar 1: Suasana Pembukaan pameran “Toys with Semionaut Soup”)

Pameran ini menampilkan 10 instalasi karya Budi Adi Nugroho yang sebagian besar terbuat dari bahan-bahan artifisial seperti resin, polyester putty, kayu, dan fiberglass, medium yang sering dipakai pada patung kontemporer Indonesia sekitar tiga tahun terakhir. Karya instalasinya dipajang di ruangan dan di dinding galeri, menyesuaikan dengan bentuk dan fasilitas yang ada. Kecenderungan peminjaman ikon dari budaya popular seperti tokoh kartun Tin-tin, tempat permen, dan lainnya tampak cukup kental dalam karya Budi. Kesan mengkilap dan licin pun terliat pada penyelesaian akhir karya instalasi dan patungnya.

Pada kurasinya, Aminudin mencoba untuk membongkar kode-kode semiotik yang digunakan oleh Budi, lapis demi lapis beliau selami sampai pada akhirnya muncul istilah Semionaut Soup yang kemudian menjadi benang merah pameran ini. Sup dari beling dan reruntuhan dekonstruksi tanda-tanda strukturalis yang saling tercampur satu sama lain dan saling tumpang tindih secara radikal. Kecenderungna ini menurutnya dilatarbelakangi oleh kondisi seni rupa Indonesia saat Budi menjadi mahasiswa di FSRD ITB, yang kala itu mulai bernafaskan post-modernisme, sarat akan dorongan bermain dan ekstasi pencampur-adukkan tanda. Hilangnya batasan seni tinggi yang sarat akan nilai estetik dan seni rendahan yang kitsch mulai marak terjadi saat reformasi Indonesia pada tahun 1998 tercetus, seakan menjadi tiket para seniman untuk tidak lagi berpacu pada batasan dan bingkai modernisme yang otonom dan kaku. Penggunaan teks dari berbagi macam referensi dan konteks yang lantas dipinjam dan dicampuradukkan dengan teks lainnya adalah tren pada masa tersebut sampai sekarang. Bisa bersifat parody, pastiche, schizophrenic, atau lainnya. Eklektis, semua boleh, semua relatif, anything goes. Masuknya ikon-ikon murahan dari budaya massa yang digemari masyarakat konsumeris ke dalam ruang privat galeri sudah menjadi lumrah. Patung-patung abstrak yang pada masa orde baru adem ayem “nongkrong” di galeri seni kala itu mulai digantikan oleh patung-patung berbahan artifisial yang berkesan licin dan mengkilap, bagai souvenir yang siap diperjualbelikan.

Latar belakang diatas kemudian mendorong Budi untuk merayakan kebanalan masyarakat post-industri. Tampak jelas pada karyanya bahwa Budi ‘terlena’ dakam pencapur adukkan tanda yang diungkapkannya denagan meminjam ikon-ikon murahan yang dipadukan dengan pemikiran dirinya yang sebagian besar merupakan kritisi beliau pada perkembangan seni rupa kontemporer, seperti para karya “The Physical Physical Physical”, menampilakn sebuah kapal selam berebentuk Hiu dalam sebuah glass box (mengingatkan pada karya fenomenal Damien Hirst yang terjual 12 juta US dollar) yang dikendarai oleh dua sosok. Seakan mengilustrasikan Semionaut Soup dengan ringkas, dan publik menyelam dalam sup bangkai semiotika tersebut dengan mengendarai karya. Budi pun mencoba mengkritisi trend patung kontemporer, yakni menggunakan bahan artifisial yang mudah dibentuk dengan finisihing yagn licin dan mengkilap. Seakan seperti souvenir, siap dijual belikan dan dipajang, Krtisi ini lalu ditumpangtindihkan dengan tanda lainnya, yakni pengadaan potret ikonik seniman kontemporer Indonesia yang eksistensinya cukup diakui di Indonesia (Pramuhendra, Radi Arwinda, dan Wiyoga Muhardanto) dengan tempat permen PEZ yang popular, yang diikat dalam karya “Pop Artist – series “. Semakin menekanan citra karya seniman yang disindirnya sebagai seni salon yang diminati pasar karena citra karyanya yang “manis

(Gambar 2: “Pop Artist – series “)

Kritisi lainnya yang Budi lontarkan adalah terhadap Asmudjo Jono Irianto, seorang kurator yang amat megelu-elukan seni rupa kontemporer. Dalam karya yang berjudul “Pop Gadget”, Budi mencoba untuk mengasosiasikan Asmudjo dan Inspectur gadget yang memiliki seperangkat gadget-gadget yang sangat handy dan praktis. Seakan mengilustrasikan kecenderungan karya kontemporer yang begitu praktis dan ekelektis, semua bisa dijadikan sebagai alat untuk melakukan purpose apapun.

 

(Gambar 3: “Self potrait – series “)

Selain kritisi, Budi pun menuangkan pemikirannya terhadapa eksistensi dan fungsi seniman pada dunai seni rupa kontemporer, tertuang pada karya  “Self-Potrait”, menekankan fungsi dirinya sang seniman seabagi pahlawan/superhero yang dikemas dengan cara yang popular, tetap dengan menggunakan ikon PEZ dalam skala sebenarnya. Boleh jadi Budi menganggap dirinya adalah pahlawan kontemporer yang berani mengkritisi perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia.

Kritik yang ditulis oleh Adi Wicaksono pada katalog pameran tersebut menekankan pada kurang baiknya permainan tanda yang Budi gunakan. Kurangnya riset yang dilakukan Budi menjadikan karya-karyanya sekan setengah-setengah, seperti display pameran yang tetap saja berada dalam simulasi ruang privat galeri, dan display karya yang menyiratkan kurangnya riset Budi dalam melihat ruang galeri Soemardja. Menurut Adi, karya instalasinya seakan dibuat praktis dan mudah dipindah-pindah, menyesuaikan dengan fasilsitas ruang yang ada di galeri, kurang total, kurang greget. Disatu sisi kecenderungan karyanya mengkritisi eksistensi seni rupa kontemporer Indonesia, namun karyanya tetap tenggelam dalam konsepsi seni rupa kontemporer yang dikritisinya. Sebuah paradox.

Seara keseluruhan pameran ini cukup menyuarakan suara budi yang menyiratkan kegelsihannya akan perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia. Beliau mencoba mengkritisinya, namun tetap, kurangnya riset terhadap ruangan dan kurang totalnya permainan semiotika yang Budi lakukan menjadikan kritik terhadap medan sosial seni rupa kontmeporer menjadi setengah-setengah. Meskipun masyarakat kontemporer terbiasa akan bias dan paradoks-paradoks dalam praktik seninya, karya Budi yang mencoba mengkritisi malah tetap terjebak dalam apa yang dikritisinya itu sendiri. beliau mengkritisi, tatapi tetap merayakannya, timbul sebuah impresi membingungkan terhadap kejelasan maksud Budi dalam karyanya. Namun, semua kebingungan in tetap difasilitasi oleh seni rupa post-modern. Ketika mencairnya dinding batas baik buruk, boleh tidak, sakral profane, estetis kitsch, banal kontemplatif, dll membuat semua praktik seni dihalalkan, diperbolehkan, diamini. Penggunaan teks yang ambigu, membungungkan, tidak jelas, suka-suka, main-main tetap saja diapresisasi. Apalagi ditambah anomali medan sosial seni rupa Indonesia yang diindikasikan dengan dominasi pasar yang terlampaiu tinggi, menjadikan iklim seni Indonesia bisa saja kurang sehat. Ketika karya yang diserap pasar dianggap sebagai karya yang cukup baik tapi dalam perkembangannya malah merancukan kualitas karya itu sendiri. dan mau tidak mau eksistensi seniman ditentukan olehnya, iklim seni rupa Indonesia pun semakin dipertanyakan.

Eklektis, semua boleh, semua suka, semua relative, anything goes.

Namun, ditengah semua kebingungan dan kepasrahan akan ketiadaan standar yang jelas ini, seni tetap masih bisa dinikmati. Bukan berarti seni rupa tidak bisa dirayakan, semoga praktik seni rupa Indonesia yang akan datang akan memberikan harapan untuk menuju senirupa kontemporer yang lebih baik.